PENGGUNAAN
TANAH MILIK NEGARA UNTUK KEPENTINGAN PRIBADI DALAM PRESPEKTIF MILK AL-DAULAH
DAN QANUN KOTA BANDA ACEH NOMOR 03
TAHUN 2007
( Suatu
Penelitian di Kecamatan Syiah Kuala )
1.1 Latar Belakang Masalah
Negara merupakan agency (alat) dari masyarakat yang
mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat
dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Negara juga berhak
dan berperan dalam menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai dimana kekuasaan
dapat digunakan dalam kehidupan bersama, baik oleh individu dan golongan atau
asosiasi, maupun oleh negara sendiri.[1]
Yang termasuk kedalam bagian kekuasan negara adalah yang berhubungan dengan
seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,
sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria No. 5
Tahun 1960.[2]
Tanah negara sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang
pokok Agraria pasal 1 ayat (1) bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan
tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
Sedangkan dalam ayat (2) disebutkan bahwa seluruh bumi air dan ruang angkasa
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah Republik Indonesia
sebagai karunia tuhan yang maha esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa
Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Dari paparan beberapa pasal dalam Undang-Undang
Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 dapat dipahami bahwasanya tanah apapun yang
terdapat dalam wilayah Indonesia di bawah kekuasaan negara.
Menurut Al-Kailani harta milik negara di definisikan
sebagai harta seluruh umat yang pengelolaan dan kegunaannya untuk kepentingan
umum. Sehingga ia mendefenisiskan kepemilikan negara atau kepemilikan umum
sebagai kepemilikan yang nilai gunanya berkenaan dengan semua kewajiban negara
terhadap rakyatnya, termasuk bagi kelompok non muslim. Yang tercakup kedalam
semua kepemilikan ini adalah semua kekayaan yang tersebar di atas dan perut
bumi wilayah negara itu. Pengkaitan kepemilikan negara sebagai kepemilikan umum
tidak terlepas dari nilai guna benda-benda yang ada bagi kepentingan semua
orang tanpa diskriminatif dan memang ditujukan untuk mensejahterakan dan menciptakan
kesejahteraan sosial.[3]
Dalam konsep fikih Muamalah, harta milik negara (milk
al-daulah) seperti jalan raya, pasar, air, padang rumput, irigasi, dan
sungai merupakan harta bersama, yang diperuntukkan bagi kepentingan dan
kemaslahatan bersama, dimana negara dan masyarakat dapat sama-sama
memanfaatkannya sesuai dengan peraturan perundang undangan. Masyarakat yang
memanfaatkan harta tersebut tidak boleh merusak harta itu, berlaku
sewenang-wenang dengan melanggar dan memperkosa hak orang lain, dan tidak boleh menjadikannya milik pribadi
dengan melarang orang lain untuk memanfaatkannya.[4]
Pada hakikatnya tujuan penggunaan tanah milik negara
adalah untuk menciptakan kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat dan memberikan
kesempatan seluruh umat manusia terhadap sumber kekayaan umum yang mempunyai
manfaat sosial, baik yang tergolong ke dalam kebutuhan primer, sekunder maupun
jenis kebutuhan lain. Diantara hal penting berkaitan dengan tujuan ini adalah
pelayanan yang mempunyai fungsi sosial
harus dimiliki secara kolektif oleh semua manusia,[5]
kebutuhan-kebutuhan primer yang dibutuhkan oleh semua manusia tidak boleh
dimiliki oleh perorangan secara khusus supaya tidak menjadi sebab terjadinya
kesulitan yang diderita oleh manusia lain. Air, rumput, api dan garam serta
fasilitas-fasilitas publik lainnya merupakan bagian yang menopang kehidupan
manusia. Jadi jika ada individu yang memonopoli barang-barang ini, maka akan
menguasai jalur kebutuhan manusia. Selanjutnya, akan terjadi banyak kerusakan
yang akan dialami oleh manusia akibat dari ulah manusia
sendiri dalam mendayagunakannya cenderung hanya memikirkan kepentingan pribadi
yang pada seharusnya hal itu untuk kepentingan umum, mengganggu, merampas dan
memperkosa hak orang lain, hal ini dapat memicu terjadinya ketidak stabilan,
ketidak nyamanan antara sesama manusia seperti mengganggu ketertiban umum,
timbulnya masalah kerusakan-kerusakan tanah dan gangguan terhadap
kelestariannya.
Qanun kota Banda
Aceh Nomor 03 tahun 2007 tentang pengaturan dan penertiban pedagang kaki lima
secara tegas melarang setiap individu untuk melakukan kegiatan usaha
perniagaan yang melakukan kegiatan
usahanya diatas tanah negara yang masuk dalam wilayah kota Banda Aceh.Pembuatan Qanun ini sebagaimana disebutkan dalam pasal 4
dengan pertimbangan untuk memberi kelancaran lalu lintas, kelancaran pejalan
kaki, akses ke pertokan dan waktu berjualan dengan tujuan untuk menciptakan
kenyamanan, ketertiban, dan keindahan kota Banda Aceh
Fenomena praktek penggunaan tanah negara untuk
kepentingan pribadi masih banyak dilakukan oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab, dalam kehidupan sehari-hari masih sering terjadi penggunaan
tanah negara oleh masyarakat luas. Masalah ini dengan mudah di jumpai ketika
kita mengamati lingkungan sekitar kita, termasuk dalam wilayah kecamatan Syiah
Kuala yang merupakan salah satu kecamatan padat penduduk di Banda Aceh hal ini
disebabkan karena kecamatan Syiah Kuala merupakan tempatnya dua kampus jantoeng
hate rakyat Aceh.
Dalam kecamatan Syiah Kuala sangat banyak tanah negara
yang tersebar dimana-mana berupa
fasilitas publik seperti trotoar, pinggiran jalan, daerah aliran sungai tempat
olahraga dan juga tanah-tanah yang dimanfaatkan untuk kepentinga tertentu oleh
negara . Kita juga melihat pada sebagian tanah negara yang seharusnya
diperuntukkan untuk kepentingan umum tetapi digunakan oleh sebagian pihak untuk
kepentingan pribadi tanpa mempedulikan kepentingan umum.[6]
Fenomena penggunaan tanah milik negara untuk kepentingan
pribadi dalam kecamatan Syiah Kuala dapat kita amati pada beberapa titik diantaranya
adalah di sepanjang jalan Teuku Nyak Arif, kawasan kampus Syiah Kuala yaitu,
seputaran lapangan tugu, seputaran kampus UIN Ar-Raniry, hampir sepanjang Jalan
Lingkar Kampus, di desa Alue Naga dan lain-lain, tanah-tanah yang digunakan berupa
fasilitas publik seperti trotoar, pinggiran jalan seperti di seputaran kampus
pasca sarjana UIN Ar-Raniry dan juga berupa tanah yang bukan berupa fasilitas
umum seperti di desa Alue Naga. Bentuk penggunaanya adalah dengan memanfaatkan
tanah tersebut sebagai lahan untuk dijadikan lokasi untuk usaha komersil
seperti mendirikan bangunan permanen diatasnya seperti yang terjadi di depan kampus pasca sarjana UIN
Ar-Raniry dan Desa Alue Naga, dan mendirikan bangunan yang tidak permanen
seperti mendirikan tenda-tenda dan gerobak diatasnya.[7]
Sifat penggunaannya adalah dengan menguasai lokasi tersebut secara individu dan
monopolis serta melarang pihak lain untuk menggunakannya tanpa izin dari si
pengguna, tanah tersebut tidak d
CONTOH LENGKAPNYA DALAM FORMAT MICROSOFT WORD SESUAI EYD DAPAT DI DOWNLOAD DISINI
EmoticonEmoticon