BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Jika melihat
perkembangan bisnis syariah termasuk juga lembaga-lembaga syariah di
negara-negara muslim lainnya seperti Kuwait, Uni Emirat Arab, Malaysia, bahkan
Singapura, Indonesia sudah tertinggal cukup jauh. Tak kalah heboh,
Negara-negara Eropa pun kini sedang berpikir untuk membuka unit-unit usaha
syariah. Salah satu bisnis syariah adalah asuransi sayariah. Tentu dalam
melakukan bisnis harulah mempunyai etika agar bisnis yang dijalankan bisa
berjalan dengan baik. Di zaman klasik bahkan juga di era modern, masalah etika
bisnis dalam dunia ekonomi tidak begitu mendapat tempat. Karena pengaruh
dari ekonomi kontemporer yang tidak memperdulikan etika.
Dalam
asuransi syariah juga harus memiliki etika dan pengaturan pemasaran agar bisnis
yang dijalani bisa berjalan dengan lancar. Dalam makalah ini kami
akan membahas tentang etika dan peraturan pemasaran dalam asuransi
syariah.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Apa
Yang Dimaksud Dengan Etika Dan Pemasaran?
2. Bagaimana
Etika Dalam Asuransi Syariah?
3. Bagaimana
Teknik Memasarkan Program Asuransi Syariah?
C. TUJUAN
MAKALAH
1. Dapat
Menggetahui Apa Itu Etika Dan Pemasaran
2. Dapat
Mengetahui Etika Dalam Asuransi Syariah
3. Dapat
Mengetahui Teknik Pemasaran Dalam Asuransi Syariah
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
ETIKA DAN PEMASARAN
1. Pengertian
etika
Etika
berasal dari Bahasa Yunani Kuno ethos. Dalam bentuk kata tunggal
kata tersebut mempunyai banyak arti, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan,
sikap dan cara berfikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah
adat kebiasaan, arti terakhir inilah
menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah “Etika” yang oleh filosof
Yunani Besar, Aristoteles (384-322SM) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat
moral.[1]
Dalam kamus
Inggris, etika (ethic) mengandung empat pengertian. Pertama,
etika adalah prinsip tingkah laku yang baik atau kumpulan dari prinsip-prinsip
itu. Kedua, etika merupakan sistem prinsip-prinsip atau nilai-nilai
moral. Ketiga, dalam kata-kata “ethics” yaitu “ethic”
dengan tambahan “s” tapi dalam penggunaan mufrad atau singular,
diartikan sebagai kajian tentang hakikat umum moral. Keempat, “ethics”
yaitu “ethic” dengan tambahan mufrad (tunggal) dan jamak (plural),
ialah ketentuan-ketentuan atau ukuran-ukuran yang mengatur tingkah laku para
anggota suatu profesi.[2]
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia etika dijelaskan dengan arti ilmu tentang apa yang
baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Etika
juga diartikan kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. Serta
diartikan nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan
atau masyarakat.
2. Pengertian Pemasaran
Pemasaran berasal dari kata
pasar, yang dalam konteks tradisional diartikan dengan “tempat orang yang
berjual beli”. Pemasaran adalah proses, cara, pembuatan, dan memasarkan suatu
barang dagangan.[3]
Dalam literatur Arab-Islam, pasar disebut assuq, jamaknya aswaq.
Sedangkan pemasaran disebut dengan at-taswiq.
Pemasaran dalam asuransi baik konvensional
maupun asuransi syariah dilakukan oleh agen asuransi ketentuan ini diatur dalam
regulasi perundang-undangan Indonesia yaitu dalam pasal 3 ayat (5)
Undang-undang No. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian. Dalam undang-undang
tersebut juga mengatur mengenai kegiatan agen asuransi hanya boleh melakukan
usaha pemasaran bagi satu perusahaan saja. Ini sesuai dengan pasal 5 huruf e
undang-undang No. 2 Tentang Usaha Perasuransian.[4]
Efisiensi dalam pemasaran produk asuransi
syariah dapat diukur dari terpenuhi salah satu unsur dibawah ini:
· Keluaran
tetap konstan, masukan mengecil
· Keluaran
meningkat, masukan konstan
· Keluaran
meningkat dalam kadar yang lebih tinggi dari peningkatan masukan
· Keluaran
menurun dalam kadar yang lebih rendah dari penurunan masukan
Dalam melakukan pemasaran asuransi syariah
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan penawaran kepada calon
konsumen/nasabah produk asuransi syariah, produk yang ditawarkan tidak boleh
terhadap pelaku usaha yang terlarang, usaha terlarang tersebut meliputi:
· Usaha
yang menggunakan sistem ribawi.
· Usaha
yang mengandung perjudian.
· Usaha
Peramalan nasib.
· Usaha
Pengangkutan Barang Haram
· Dan
lain sebagainya
B. ETIKA
DALAM ASURANSI SYARIAH
1. Prinsip-Prinsip Bisnis Islam
Sebelum
membahas etika bisnis, terlebih dahulu kita mengetahui prinsip-prinsip
ekonomi/bisnis Islam yang menjadi landasan bagi segala aktivitas perekonomian
(bisnis). Prinsip-prinsip Bisnis dapat diuraikan sebagai berikut:[5]
a. Prinsip Kesatuan atauTauhid (Unity)
Prinsip
tauhid adalah dasar utama dari setiap bentuk bangunan yang ada dalam syariah
Islam. Dari konsep ini, maka Islam menawarkan keterpaduan, agama ekonomi, dan
sosial demi membentuk kesatuan. Atas dasar ini pandangan ini pula maka etika
bisnis menjadi terpadu, vertikal maupun horizontal, membetuk persamaan yang
sangat pentinga dalam sistem Islam yang homogen yangtidak mengnal kekusutan dan
keterputusan. Tauhid mengantarkan manusia pada pengakuan akan keesaan Allah
selaku Tuhan semesta alam. Dalam kandungannya meyakini bahwa segala sesuatu
yang ada di alam ini bersumber dan berakhir kepada-Nya. Dialah pemilik mutlak
dan absolut atas semua yang diciptakannya. Oleh sebab itu segala aktifitas
khususnya dalam muamalah dan bisnis manusia hendaklah mengikuti aturan-aturan
yang ada jangan sampai menyalahi batasan-batasan yang telah diberikan.
b. Prinsip Kebolehan (Ibahah)
Pada
dasarnya Islam memberi kesempatan seluas-luasnya bagi perkembangan bentuk
kegiatan mu’amalah sesuai perkembangan kebutuhan manusia yang dinamis. Segala
bentuk kegiatan muamalah adalah dibolehkan kecuali ada ketentuan lain yang
menentukan sebaliknya.
Berkaitan
dengan prinsip ini Hamyah Ya’qub, memberi garis besar larangan dalam
perdagangan Islam menjadi tiga kategori;
·
Melingkupi barang atau zat yang terlarang untuk
diperdagangkan.
·
Melingkupi semua usaha atau objek dagang yang terlarang.
·
Melimgkupi cara-cara dagang atau jual beli yang
terlarang.
Penerapan prinsip kebolehan (bahah) sangat
berkaitan dengan sesuatu yang menjadi objek dalam bisnis, yang jelas hala dan
tidak mengandung keraguan sedikit pun.
c. Prinsip Keadilan
Keadilan
merupakan prinsip dasar dan utama yang harus ditegakkan dalam seluruh aspek
kehidupan termasuk kehidupan berekonomi. Islam melarang adanya transaksi yang
mengandung unsur gahara yang berakibat keuntungan di satu pihak dan kesewanang-wenangan
serta penindasan (dhulm) di pihak lain.
Keadilan
sebagai fondasi perekonomian, dalam Al-Qur’an banyak menyebutkan kata keadilan
itu dengan berbagai konteks. Keadilan yang ditunjukkan hukum Islam adalah
keadilan yang mutlak dan sempurna bukan keadilan yang relative dan parsial
seperti yang ada dalam sistem hukum Yunani, Romawi maupun hukum manusia
lainnya. Keadilan merupakan nilai dasar, etika eksiomatik, dan prinsip bisnis
yang bermuara paada satu tujuan yaitu menhindari kedzaliman dengan tidak
memakan harta sesama dengan batil.
d. Prinsip Kehendak Bebas
Kehendak
bebas merupakan kontribusi Islam yang paling orisinil. Berdasarkan pada aksioma
kehendak bebas ini, dalam bisnis, manusia mempunyai kebebasan untuk membuat
suatu perjanjian, termasuk menepati maupun mengingkarinya. Kehendak bebas (Free
Will) yakni manusia mempunyai suatu potensi dalam menentukan pilihan-pilihan
yang beragam, karena kebebasan manusia tidak dibatasi. Tetapi dalam kehendak
bebas yang diberikan Allah kepada manusia haruslah sejalan dengan prinsip dasar
diciptakannya manusia yaitu sebagai khalifah di bumi. Sehingga kehendak bebas
itu harus sejalan dengan kemaslahatan kepentingan individu telebih lagi pada
kepentingan umat.
Kehendak
bebas yang dibatasi oleh keadilan. Sesungguhnya, kebebasan ekonomi yang
disyari’atkan Islam bukanlah kebebasan mutlak yang terlepas dari ikatan.
Kebebasan itu kebebasan yang terbatas, terkendali dan terikat dengan keadilan
yang diwajibkan Allah.
e. Prinsip Pertanggungjawaban
Kebebasan
tanpa batas adalah suatu hal yang mustahil dilakukan oleh manusia karena tidak
menuntut adanya pertanggungjawaban dan akuntabilitas. Untuk memenuhi tuntutan
keadilan dan kesatuan, manusia perlu mem-pertanggungjawabkan tindakannya.
Aksioma pertanggungjawaban ini secara mendasar akan mengubah perhitungan
ekonomi dan bisnis, karena segala sesuatunya harus mengacu pada keadilan.
f. Prinsip Kebenaran: Kebajikan dan Kejujuran
Kebenaran
adalah nilai kebenaran yang dianjurkan dan tidak bertentangan dengan ajaran
Islam. Dalam konteks bisnis, kebenaran dimaksudkan sebagai niat, sikap dan
perilaku yang benar, yang meliputi, proses akad (transaksi), proses mencari
atau memperoleh komodiatas, proses pengembangan maupun dalam proses upaya
meraih atau menetapkan margin keuntungan (laba). Termasuk kebajikan dalam
bisnis adalah sikap kesukarelaan dan keramahtamahan.
Dengan
aksioma kebenaran ini, maka etika bisnis Islam sangat menjaga dan berlaku
preventif terhadap kemungkinan adanya kerugian salah satu pihak yang melakukan
transaksi, kerja sama atau perjanjian dalam bisnis. Kejujuran merupakan nilai
dasar yang harus dipegang dalam kegiatan bisnis. Setiap bisnis yang didasarkan
pada kejujuran akan mendapatkan kepercayaan pihak lain.
g. Prinsip Kerelaan
Prinsip
ini menjelaskan bahwa segala bentuk kegiatan ekonomi harus dilaksanakan
sukarela, tanpa ada unsur paksaan antara pihak-pihak yang terlibat dengan
kegiatan tersebut. Prinsip kerelaan dalam Islam merupakan dasar penerimaan dan
perolehan objek transaksi yang jelas-jelas bersifat halal dan tidak bertentangan
dengan ajaran agama.
h. Prinsip Kemanfaatan
Penerapan
prinsip kemanfaatan dalam kegiatan bisnis sangat berkaitan dengan objek
transaksi bisnis. Objek tersebut tidak hanya berlabel halal tetapi juga
memberikan manfaat bagi konsumen. Objek yang memenuhi kriteria halal apabila
digunakan untuk hal-hal yang dapat menimbulkan kerusakan, maka hal ini pun
dilarang.
i. Prinsip Haramnya Riba
Prinsip
ini merupakan implementasi dari prinsip keadilan. Adanya pelarangan riba dalam
aktivitas ekonomi karena terdapatnya unsur dhulm di antara para pihak
yang melakukan kegiatan tersebut. Yang salah satunya ada pihak yang didzalimi.
Prinsip pelarangan riba diterapkan karena menimbulkan dampak berupa
penganiayaan terhadap salah satu pihak oleh pihak lain. Permasalah riba tidak
saja berdampak pada persoalan ekonomi, tetapi menyangkut moral.
2.
Etika Bisnis Dalam Islam
Ada
beberapa parameter kunci sistem etika bisnis Islam, di antaranya sebagai
berikut:
a. Berbagai
tindakan dan keputusan disebut etis tergantung pada niat individu yang
melakukannya.
b. Niat
baik yang diikuti tindakan yang baik akan dihitung sebagai ibadah.
c. Islam
memberikan kebebasan kepada individu untuk percaya dan bertindak berdasarkan
apa pun keinginannya, namun tidak dalam hal tanggung jawab dan keadilan.
d. Percaya
kepada Allah SWT memberi individu kebebasana sepenuhnya dari hal apa pun
kecuali Allah.
e. Keputusan
yang menguntungkan kelompok meyoritas ataupun minoritas tidak secara langsung
berarti bersifat etis dalam dirinya.
f. Islam
menggunakan pendekatan terbuka terhadap etika, bukan sebagai sitem yang
tertutup.
g. Keputusan
etis harus didasarkan pada pembacaan secara bersama-sama antara Al-Qur’an dan
alam semesta.
h. Islam
mendorong umat manusia untuk melakukan tazkiyyah melalui partisipasi
aktif dalam kehidupan ini.[6]
Sitematika etika Islam tidak
terfragmentasi berbagai unsur namun juga tidak berdimensi tunggal. Sistem etika
Islam merupakan bagian dari pandangan hidup Islami dan karenanya bersifat
lengkap. Terdapat konsistensi intenal, atau ‘adl, atau keseimbangan, dalam
konsep nilai penuntun individu.
3.
Nilai Penting Etika Bisnis Islam
Munculnya wacana pemikiran etika bisnis,
didorong oleh realitas bisnis yang mengabaikan nilai-nilai moralitas. Pemikiran
etika Islam muncul ke permukaan dengan landasan bahwa Islam adalah agama yang
sempurna. Ia merupakan kumpulan aturan-aturan, ajaran, doktrin, dan nilai-nilai
yang dapat menghantarkan manusia dalam kehidupannya menuju kehidupan, baik
dunia maupun akhirat. Pengembangan etika bisnis Islam yang mengedepankan etika
bisnis Islam yang mengedepankan etika sebagaia landasan filosofisnya merupakan
agenda yang signifikan untuk dikembangkan.
Menurut Quraish Shihab, al-Qur’an lebih
banyak memberikan prinsip-prinsip mengenai bisnis yang bertumpu pada kerangka
penanganan bisnis sebagai perilaku ekonomi dengan tanpa membedakan kelas.[7]
Pada konteks pertama, tugas utama
etika bisnis dipusatkan pada upaya mencari cara untuk menyelaraskan kepentingan
strategis suatu bisnis atau perusahaan dengan tuntutan moralitas. Kedua,
etika bisnis bertugas melakukan perubahan kesaaran masyarakat tentang bisnis
dengan memberikan suatu pemahaman, bahwa bisnis tidak terpisah dari etika.[8]
Perbedaan etika bisnis syariah dengan
etika bisnis yang selama ini dipahami dalam kajian ekonomi terletak pada
landasan tauhid dan orientasi jangka panjang (akhirat). Prinsip ini dipastikan
lebih mengikat dan tegas sanksinya. Etika bisnis syariah memiliki dua cakupan.
Pertama, cakupan internal, yang berarti perusahaan memiliki manajemen internal
yang memperhatikan aspek kesejahteraan karyawan, perlakuan yang manusiawi dan
tidak diskriminatif plus pendidikan. Sedangkan kedua, cakupan eksternal
meliputi aspek trasparansi, akuntabilitas, kejujuran dan tanggung jawab.
Demikian pula kesediaan perusahaan untuk memperhatikan aspek lingkungan dan
masyarakat sebagai stake holder
perusahaan.
Abdullah Hanafi dan Hamid Salam, Guru
Besar Business Administration di Mankata State Univeristy menambahkan cakupan
berupa nilai ketulusan, keikhlasan berusaha, persaudaraan dan keadilan.
Sifatnya juga universal dan bisa dipraktekkan siapa saja. Etika bisnis syariah
bisa diwujudkan dalam bentuk ketulusan perusahaan dengan orientasi yang tidak
hanya pada keuntungan perusahaan namun juga bermanfaat bagi masyarakat dalam
arti sebenarnya. Pendekatan win-win solution menjadi prioritas. Semua pihak
diuntungkan sehingga tidak ada praktek “culas” seperti menipu masyarakat atau
petugas pajak dengan laporan keuangan yang rangkap dan lain-lain. Bisnis juga
merupakan wujud memperkuat persaudaraan manusia dan bukan mencari musuh. Bisnis
yang dijalankan dengan melanggar prinsip-prinsip etika dan syariah seperti
pemborosan, manipulasi, ketidakjujuran, monopoli, kolusi dan nepotisme
cenderung tidak produktif dan menimbulkan inefisiensi.
Bisnis itu dalam Islam merupakan kegiatan
berdagang. Kegiatan Bisnis Syariah dalam Islam sangat berbeda dengan kegiatan
ekonomi sekuler (kapitalis) yang beranggapan bahwa dalam setiap urusan bisnis
tidak dikenal adanya etika sebagai kerangka acuan, sehingga dalam pandangan
kaum kapitalis bahwa kegiatan bisnis amoral. Prinsip ini menunjukkan bahwa
setiap kegiatan Bisnis Syariah tidak ada hubungannya dengan moral apa
pun, bahkan agama sekalipun. Menurut ekonomi kapitalis setiap kegiatan ekonomi
didasarkan pada perolehan kesejahteraan materi sebagai tujuan utama.
Dalam Bisnis Syariah manusia memiliki peranan yang sangat penting
sebagai pelaku bisnis.
4. Etika
bisnis Dalam Asuransi
Islam merupakan sumber nilai dan etika
dalam segala aspek kehidupan manusia secara menyeluruh, termasuk wacana bisnis.
Islam memiliki wawasan yang komprehensif tentang etika bisnis. Mulai dari
prinsip dasar, pokok-pokok kerusakan dalam perdagangan, faktor-faktor produksi,
tenaga kerja, modal organisasi, distribusi kekayaan, masalah upah, barang dan
jasa, kualifikasi dalam bisnis, sampai kepada etika sosio ekonomi menyangkut
hak milik dan hubungan sosial.
Asuransi merupakan salah satu bagian dari
bisnis. Menurut pendapat mayoritas/jumhur ulama, asuransi bukan bisnis
pertaruhan dan ketidakpastian, melainkan salah satu cara untuk mempersiapkan
masa depan, sebagaimana yang telah diperintahkan Allah dalam QS 59 : 18.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah
Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat);
dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”
Kemudian, asuransi ini juga dapat menjadi
sarana untuk mempersiapkan generasi penerus yang lebih baik, dan bukan generasi
penerus yang lemah dan tidak berdaya. Sehingga, keikutsertaan kita pada
asuransi pendidikan anak sebagai contoh, merupakan salah satu cara untuk
menjamin keberlangsungan pendidikan generasi yang akan datang. Selanjutnya,
jenis transaksi yang dikembangkan asuransi syariah pun memiliki filosofi yang
berbeda dengan asuransi konvensional.
Pada konsep konvensional, premi yang
dibayarkan kepada perusahaan, menjadi milik perusahaan, sehingga perusahaan
tersebut bebas menginvestasikan dana premi dimana saja, tanpa mempedulikan
halal dan haramnya. Sementara pada akad syariah, ada dua transaksi yang
dikembangkan, yaitu tabarru’ (kebajikan) dan tijarah/bisnis
melalui akad mudharabah (bagi hasil). Pada akad tabarru’, para
pemegang polis saling menghibahkan dananya untuk kepentingan bersama. Dana
inilah yang nantinya diberikan kepada pemegang polis ketika “terjadi sesuatu”
pada mereka. Filosofi yang dibangun disini adalah rasa kepedulian dan semangat
tolong menolong, sebagaimana yang dinyatakan dalam QS 5 : 2.
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
Sehingga, semangat persaudaraan sebagai
satu tubuh yang kokoh akan terlihat disini, dimana apabila satu bagian sakit,
yang lain pun akan turut merasakannya. Selanjutnya pada akad mudharabah,
hubungan antara pemegang polis dengan perusahaan adalah hubungan antara
investor (rabbul maal, yaitu peserta asuransi) dengan pengelola dana (mudharib,
yaitu perusahaan). Perusahaan berkewajiban untuk menginvestasikan dana pemegang
polis pada sektor-sektor usaha yang halal dan thayyib. Setiap keuntungan
yang diperoleh kemudian dibagikan berdasarkan nisbah bagi hasil yang telah
disepakati.
Dengan konsep seperti ini, maka tidak
perlu ada keraguan lagi tentang kehalalan produk asuransi syariah. Apalagi,
Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI telah mengeluarkan Fatwa No. 21/DSN-MUI/X/2001
tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, sebagai landasan syar’i dibolehkannya
praktek asuransi syariah di tanah air.
Manfaat Pedoman Etika Bisnis dalam Asuransi
syariah akan memberikan pengaruh jangka bagi pihak-pihak berikut :
a. Karyawan
· Menyediakan
pedoman tingkah laku yang diinginkan dan tidak diinginkan oleh Perusahaan
Asuransi kepada Karyawan.
· Menciptakan
lingkungan kerja yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, etika, dan
keterbukaan sehingga mampu meningkatkan kinerja dan produktivitas karyawan
secara menyeluruh.
b. Perusahaan
Mendorong kegiatan operasional Perusahaan
agar lebih efisien dan efektif, mengingat hubungan dengan nasabah, masyarakat,
pemerintah dan stakeholders lainnya memiliki standar etika yang harus
diperhatikan.
Meningkatkan nilai perusahaan dengan
memberikan kepastian dan perlindungan kepada stakeholders dalam
berhubungan dengan perusahaan. Hal ini akan menghasilkan reputasi yang baik dan
pada akhirnya akan mewujudkan keberhasilan usaha dalam jangka panjang.
c. Pemegang
Saham
Menambah
keyakinan bahwa dalam mencapai tingkat protabilitas yang diharapkan para
pemegang saham, perusahaan asuransi dikelola secara hati-hati (prudent),
efisien, transparan, akuntabel, dan fair dengan tetap memperhatikan kepentingan
perusahaan.
d. Masyarakat
dan pihak lain yang terkait
Menciptakan
hubungan yang harmonis dan saling menguntungkan dengan perusahaan, yang pada
akhirnya akan menciptakan kesejahteraan sosial dan ekonomi bagi masyarakat dan
pihak lain yang terkait.
C. TEKNIK
MEMASARKAN PROGRAM ASURANSI[9]
Suatu kenyataan bahwa menawarkan program
suransi jauh lebih rumit dibandingkan menawarkan barang yang berbentuk atau berwujud.
Karena produk asuransi bersifat tidak nyata sehingga dalam proses memasarkannya
pun, ..............
Untuk Mendapatkan makalah full version dalam format microsoft word silahkan download di sini download
[1]
. Nur Ahmad
Fadhil dan Azhari Akmal, Etika Bisnis Dalam Islam, (Jakarta: Hijri
Pustaka Utama, 2001), hal. 25.
[2].
Nur Ahmad Fadhil dan Azhari Akmal, Etika
Bisnis Dalam Islam, hal 25-26.
[3]. Tim Penyusun Kamus Pusat
Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Republik
Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hal. 651.
[5].
Kuat Ismanto, Asuransi
syari’ah, Tinjauan Asas-asas Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2009), hal. 154-165.
[7]. Ibid, hal. 174
[9]. Khairil Anwar, Asuransi Syariah, Halal Dan Maslahat,(Solo,
Tiga Serangkai,2007), Hal. 104 – 112.
EmoticonEmoticon