PRIODE KEBANGKITAN TASYRI’ ( KEMBANGKITAN KEMBALI FIQH ISLAM)
A.
Pengertian Hukum Islam, Fiqh dan Syari’ah
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari
dan menjadi bagian agama Islam. Sebagai sistem hukum ia memiliki beberapa
istilah penting yang perlu dijelaskan terlebih dahulu, sebab
kadang membingungkan apabila tidak mengetahui persis maknanya. Istilah penting
yang dimaksud adalah hukum, syari’ah dan fiqh.
1. Hukum
Jika berbicara tentang hukum, maka sepintas
akan terlintas dalam pikiran kita sebuah peraturan-peraturan atau norma-norma
yang mengatur segala tingkah laku
manusia, baik berupa kenyataan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat atau memang peraturan itu sengaja
dibuat dan ditegakkan oleh
penguasa. Hukum dalam konsepsi Barat adalah
hukum yang sengaja dibuat oleh manusia
untuk mengatur kepentingan manusia sendiri dalam masyarakat tertentu. Dalam konsepsi
perundang-undangan (Barat), yang diatur
oleh hukum hanyalah hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam
masyarakat.[1]
Di samping itu ada konsepsi hukum lain,
diantaranya adalah hukum Islam. Dasar dan kerangka hukumnya ditentukan oleh
Allah, yang tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan
benda dalam masyarakat, tetapi juga
mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan dirinya sendiri, manusia
dengan alam sekitarnya[2] Sehingga
istilah hukum Islam jelas mencerminkan konsep yang jauh berbeda jika
dibandingkan dengan konsep, sifat dan fungsi hukum biasa.[3] Ada dua
pandangan mengenai hukum Islam, yaitu pandangan keabadian dan pandangan
keberubahan[4]
.
Pertama, pandangan keabadian sebagaimana yang dipegangi oleh sejumlah besar
Islamisis seperti C.S. Hurgronje dan Josep Schacht, serta oleh kebanyakan juris
muslim lain yang hadits oriented (tradisionalis). Mereka berpendapat bahwa
dalam konsep dan perkembangannya serta metodologinya, hukum Islam bersifat abadi.
Mereka mempertahankan pendapat bahwa hukum Islam mencari landasannya pada wahyu
Tuhan melalui Nabi Muhammad sebagaimana
terdapat dalam al-Qur'an dan hadits. Sehingga hukum bersifat statis, final dan
tidak menerima perubahan[5].
Kedua, pandangan keberubahan yang berpendapat bahwa hukum Islam memiliki ciri
yang dinamis, fleksibel dapat berubah dan dalam
kenyataannya juga hukum selalu berubah sesuai dengan kondisi ruang dan
waktu. Yang menekankan aktivitas ijtihad[6] . Di
dalam al-Qur'an dan Sunnah, istilah al-Hukm al-Islamy tidak pernah kita jumpai.
Istilah yang sering dipergunakan adalah al-Fiqh al-Islamy atau al-Syari’at
al-Islamiyyah.7 Untuk itu pemahaman terhadap
istilah syari’ah dan fiqh akan sangat membantu untuk memahami pengertian hukum Islam secara utuh. al-Fiqh
al-Islamy atau al-Syari’at al-Islamiyyah[7] . Untuk
itu pemahaman terhadap istilah syari’ah dan fiqh akan sangat membantu untuk
memahami pengertian hukum Islam secara
utuh.
2. Syari’ah
Secara harfiah, kata syari’ah adalah jalan ke
sumber (mata) air yang digunakan untuk minum,[8] yakni
jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap muslim. Menurut ulama ushul fiqh,
syari’ah adalah ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf
(muslim, baligh, dan berakal sehat, baik berupa tuntutan, pilihan, atau
perantara (sebab, syarat dan penghalang).[9]
Al-Qur'an menggunakan kata syir’ah dan syari’ah,[10] dalam
arti din (agama), dengan pengertian jalan yang telah ditetapkan Tuhan bagi
manusia, atau dalam arti jalan yang jelas yang ditunjukkan Tuhan kepada manusia.[11]
Fazlur Rahman mengemukakan bahwa syari’ah erat
hubungannya dengan ad-diin, bahkan kadang keduanya dapat saling dipertukarkan.
ad-diin menurutnya berarti kepatuhan dan ketaatan. Sedangkan syari’ah merupakan
penentu jalan dan subyeknya sendiri adalah Tuhan, maka ad-diin adalah tindakan
mengikuti jalan tersebut dan subyeknya adalah manusia.[12] Dalam
al-Qur'an disebutkan: “Tuhan telah menetapkan jalan yang harus kamu ikuti”,[13] dan
juga “Lalu apakah mereka mempunyai Tuhan-tuhan lain yang telah menetapkan jalan
yang harus mereka ikuti.[14] Kalau
kita kembalikan pada asal rujukannya yaitu Tuhan dan kepada manusia, maka
syari’ah dan ad-diin adalah identik selama menyangkut jalan tersebut dan apa
yang terkandung di dalamnya.
Sementara Abu Hanifah membedakan antara
ad-diin dan syari’ah. Ad-diin menurutnya tidak pernah berubah sementara
syari’ah selalu mengalami perubahan sesuai perjalanan sejarah. Yang dimaksud
dengan ad-diin adalah pokok-pokok iman, seperti kepercayaan pada keesaan Allah,
iman pada Rasul-rasul, percaya hari akhir dan lain-lain, sedangkan syari’ah
merupakan kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan.[15] As-Syatibi dalam bukunya al-Muwafaqat
mendefinisikan syari’ah sebagai aturan-aturan bagi orang mukallaf, baik
mengenai perbuatan, ucapan maupun keyakinan mereka.[16]
Manouchehr Paydar, dalam Legitimasi Negara Islam, mendefinisikan syari’ah
sebagai seperangkat hukum-hukum suci untuk mengatur tingkah laku manusia dalam
kehidupannya serta mempersiapkan diri mereka dalam menghadapi hari akhir kelak.[17]
3. Fiqh
Setelah mengetahui pengertian syari’ah,
selanjutnya beralih ke fiqh. Fiqh secara harfiah berarti paham atau mengerti
sesuatu secara mendalam.[18] Dalam
pengertian ini antara fiqh dan fahm adalah sinonim.[19] Setelah
mengalami perkembangan fiqh digunakan untuk nama dalam hukum-hukum agama, baik
yang mengenai hukum aqidah maupun mengenai hukum amaliah.[20] Kata
fiqh dalam al-Qur'an dipergunakan dengan pengertian “memahami” secara umum pada
beberapa tempat. Ungkapan ﻟﻴﺘﻔﻘﻬﻮاﻓﻰ
اﻟﺪﻱﻦ (agar mereka melakukan pemahaman dalam agama),
menunjukkanbahwa di masa Rasulullah istilah fiqh tidak hanya dikenakan dalam
pengertian hukum saja, tetapi mempunyai arti yang lebih luas mencakup semua
aspek dalam Islam, yaitu teologis, politis, ekonomis dan hukum.[21] Namun
dalam perjalanannya, makna fiqh kini hanya sebagai istilah teknis untuk
menyebut suatu disiplin ilmu yang khusus membahas aspek hukum di dalam Islam.[22]
Dari pemaparan di atas, maka dapat dipahami
bahwa fiqh adalah ilmu tentang perilaku manusia yang landasan utamanya adalah
nash/wahyu al-Qur'an dan Sunnah Rasul.[23] Sebagaimana
telah dikemukakan di atas, maka dapat dikatakan bahwa antara syari’ah dan fiqh
merupakan dua konsep yang berbeda namun keduanya saling terkait. Karena
syari’ah merupakan hukum Tuhan, sedang fiqh aktualisasi dari syari’ah atau
formula yang dipahami dari syari’ah. Syari’ah tidak dapat dijalankan dengan
baik, tanpa dipahami melalui fiqh atau pemahaman yang memadai, dan diformulasikan
secara baku.[24]
B. Sejarah
Perkembangan dan Pembaruan Hukum Islam
Periode kebangkitan kembali Setelah mengalami kelesuan, kemunduran beberapa
abad lamanya, Dalam persoalan ini Fazlur Rahman termasuk pemikir yang
membenarkan fenomena tertutupnya pintu ijtihad pada masa-masa akhir
perkembangan hukum Islam. Ia menyatakan bahwa: “Walaupun secara formal pintu
ijtihad tidak pernah tertutup, namun sikap taqlid atau menerima otoritas secara
mentah-mentah berkembang sedemikian subur sehingga secara praktis ijtihad
menjadi tidak ada. Mula- mula taqlid ini disyaratkan bagi kaum awam pun cukup
memiliki kesanggupan untuk menilai dan memilih di antara beberapa pandangan
yang berbeda. Tetapi di kemudian hari sikap taqlid ini melanda seluruh umat
Islam. Suara menentang taqlid timbul, terutama setelah Ibnu Taymiyyah tampil.
Penekanan bahwa ijtihad adalah penting semakin bertambah semenjak munculnya
gerakan pembaru Islam pada abad ke-18 M”.[25]
UNTUK MENDAPATKAN MAKALAH SECARA LENGKAP SILAHKAN DOWNLOAD DI SINI
[1] Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, edisi VI, cet. X, 2002,
hlm. 38
[3] Musahadi HAM, Evolusi Konsep
Sunnah (Implikasinya Pada Perkembangan Hukum Islam), Semarang: Aneka Ilmu,
2000, hlm. 45
[7] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, cet. IV, 2000, hlm. 3
[11] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu
Ushul Fiqh, Beirut: Dar al-Qalam, cet. XII, 1978, hlm. 96
, hlm. 7
[16] Abi Ishaq as-Syatibi,
al-Muwafaqat Fi Usul al-Syari’ah, jilid I, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
t.th., hlm. 61
[17] Paydar nampaknya tidak membedakan antara syari’ah dengan fiqh, ia
menyebutkan bahwa syari’ah mengalami perkembangan makna menjadi dua prinsip,
yaitu (1) syari’ah dikatakan hanyalah sebuah karya manusia dari para fuqaha’
dan bukan dan bukan hasil dari proses legislasi, (2) Pada dasarnya syari’ah merupakan
prinsip-prinsip etis bukan legal. Ia menggunakan kata fuqaha sebagai pembentuk
syari’ah. Sebagaimana diketahui bahwa fuqaha biasanya dipahami sebagai ahli
dalam bidang fiqh. Lihat Manouchehr Paydar, Aspect of The Islamic Religious
Norms and Political Realities, terj. M. Maufur el-Khoiry, Legitimasi Negara
Islam, Problem Otoritas Syari’ah dan Politik Penguasa, Yogyakarta: Fajar
Pustaka Baru, 2002, hlm. 129-141.
[18] Tengku Muhammad Hasbi
ash-Shidieqy, Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam, Jakarta: Tintamas, 1975,
hlm. 10
[21]Ahmad Hasan, op. cit., hlm. 1
[23] A. Qodri A. Azizy, Redefinisi
Bermadzhab Dan Berijtihad, al-Ijtihad al-‘Ilmi al- ‘Asri, dalam Pidato
Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Hukum Islam IAIN Walisongo, Semarang 12
Juli 2003, hlm. 15
[24] Ahmad Rofiq, op. cit., hlm. 5, lihat juga Ahmad Hasan, op. cit.,
hlm 6, Musahadi, op. cit., hlm. 56
[25] Fazlur Rahman, Islam Methodologi in History, terj. Anas Mahyuddin,
Membuka Pintu Ijtihad, Bandung: Pustaka, cet III, 1995. hlm. 15
EmoticonEmoticon