HADITS PERTAMA
Pahala
Pekerjaan Ditentukan Niatnya
عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ
عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى
الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا
لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ
فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا
يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
[رواه
إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة
البخاري وابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما
اللذين هما أصح الكتب المصنفة]
a.
Terjemahan
Hadits:
“ Amirul Mukminin Abi
Hafs Umar bin Khattab ra. berkata, Aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda,
“sesungguhnya amal perbuatan itu disertai niat dan setiap orang mendapat
balasan amal sesuai dengan niatnya. Barang siapa yang berhijrah hanya karena
Allah dan Rasul-Nya maka hirjrahnya itu menuju Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa
hijrahnya karena dunia yang ia harapkan atau karena wanita yang ingin ia
nikahi, maka hijrahnya itu menuju yang ia inginkan.”
(Diriwayatkan oleh dua
orang ahli hadits: Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah
bin Bardizbah dan Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairy
An-Naisaburi, didalam kedua kitab tershahih diantara semua kitab hadits)
b.
Tinjauan
Bahasa:
Sabda
beliau إِنَّمَا اْ لأَ عْمَا لٌ بِا لنِّيَّا تِ وَ اِنَّمَا لِكُلِّ ا مْرِئٍ مَا
نَوَى “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya.
Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan.”
Susunan kalimat ini memiliki dua arah pembahasan.
Pertama
: tentang keindahan susunannya (segi balaghah)
Beliau
bersabda, إِنَّمَا اْ
لأَ عْمَا لٌ بِا لنِّيَّا تِ, diantara bentuk
balaghah yang ada pada susunan kalimat ini adalah makna pembatasan (hashr)
yaitu: menetapkan hukum yang ada pada konteks kalimat dan meniadakan yang
lainnya. Dalam bahasa Arab, makna pembatasan atau penyepitan diwakili oleh kata
(إِنَّمَا), kata ini mengandung makna hashr, seperti
perkataan (زَيْدٌ قَا ئِمٌ) “Zaid sedang
berdiri”, dalam susunan ini tidak ada makna الحَصْر. Namun
jika berkata (إِنَّمَا زَيْدٌ قَا ئِمٌ), “Sesungguhnya
Zaid betul-betul sedang berdiri, karena tidak ada perbuatan lainnya yang dia
lakukan kecuali berdiri.” Demikian pula dengan sabda beliau لِكُلِّ ا مْرِئٍ مَا نَوَى وَ اِنَّمَا .
Beliau
bersabda: وَمَنْ كَانَتْ
هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى
مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ “Dan
Barangsiapa
hijrahnya karena dunia yang ia harapkan atau karena wanita yang ingin ia
nikahi, maka hijrahnya itu menuju yang ia inginkan.” Nilai balaghah yang
ada dalam susunan kalimat ini adalah: ada unsur penyembunyian niat orang yang
berhijrah kepada dunia, sebab ungkapan beliau berbunyi فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
bukan dengan إِلَى الدٌّنْيَا يُصِيْبُهَا
. Adapun
manfaat
secara balaghah dalam ungkapan diatas adalah sikap
meremehkan orang yang di maksud dalam hadits terhadap sebab di berhijrah
kepadanya, karena tidak pas dengan ungkapan seperti itu, sehingga beliau
menggantinya dengan ungkapan lain, yaitu مَا
هَاجَرَ إِلَيْهِ إِلَى .
Sabda beliau فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ
“Barang siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan
Rasul-Nya” dijawab dengan ungkapan berikutnya, yaitu فَهِجْرَتُهُ
إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Beliau
menyebutkan ini dalam rangka mengagungkan keutamaannya. Dan sabdanya وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أوِامْرَأَةٍ
يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ , beliau tidak
mengungkapkan dengan ungkapan (إِلَى الدٌّنْيَا يُصِيْبُهَا أوِامْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا) “kepada dunia yang dikehendakinya dan kepada wanita yang akan
dinikahinya,” sebab ungkapan ini megandung makna cemoohan terhadap apa yang
diniatkannya, yaitu: dunia dan wanita.
Pembahasan Kedua:
tentang i’raab (kedudukan masing-masing kata)
Dimana sabda
beliau: إِنَّمَا اْ
لأَ عْمَا لٌ بِا لنِّيَّا تِ adalah
sebagai mubtada’ dan khabarnya,
yaitu sbb:
Kata اْ لأَ عْمَا لٌ sebagai mubtada’
dan لنِّيَّا
تِ sebagai khabar-nya.
Sabda beliau: وَإِنَّمَا
لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى hal ini pun sama seperti
diatas, hanya saja khabar-nya didahulukan dari mubtada’ yaitu
sbb:
Mubtada’-nya
adalah kata مَا نَوَى terletak diakhir
kalimat. Kalimat فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ
وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ adalah kalimat syarat
dan jawab-nya. Alat kata yang menunjukkan syarat itu adalah kata (مَنْ) “barangsiapa”, sedangkan perbuatan
kata-nya (فعْلُ الشَّر ط) ialah kata (كَا نَتْ),
dan sebagai jawab syarat-nya adalah kalimat فَهِجْرَتُهُ
إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ.
Macam-macam perbuatan
Adapun keterangan tentang makna
kata-kata yang ada dalam hadits ini adalah:
Kata اْ لأَ عْمَا لٌ adalah bentuk jamak dari kata عَمَلُ (perbuatan), yang mencakup perbuatan hati,
lisan, dan anggota badan. Susunan kalimat ini mencakup ketiga macam perbuatan ini. Perbuatan hati,
yaitu: semua perbuatan yang bersumber dari hart, seperti rasa tawakkal kepada
Allah Swt, selalu kembali bertaubat kepada-Nya, rasa takut dari adzab-Nya, dll.
Perbuatan Lisan, yaitu: semua amalan yang bersumber dari gerakan lisan.
Perbuatan anggota badan, yaitu semua perbuatan yang di hasilkan dari usaha kedua tangan dan kaki.
Pengertian Niat
Sabda beliau اْ لأَ عْمَا لٌ بِا لنِّيَّا تِ kata النِّيَّا تِ adalah bentuk jamak dari kata نِيَّةُ
yang secara bahasa berarti maksud dan tujuan (اَلْقَصْدُ)
. adapun secara istilah syar’i
yaitu kuatnya hati untuk melakukan suatu ibadah dalam rangka mendekatkan diri
kepada Allah Swt. Tempat munculnya niat adalah hati, dan niat (pada dasarnya)
adalah perbuatan hati yang tidak ada kaitannya dengan amalan anggota tubuh
lainnya (seperti mulut).
Biografi
Perawi
Dari Amirul Mukminin, beliau berkun-yah
(bergelar) Abu Hafs, Umar bin Al-Khaththab r.a adalah khalifah kedua
setelah khalifah Abu Bakar. Menjadi khalifah kaum muslimin setelah mendapat
penunjukkan dari Abu Bakar r.a dan di anggap syar’i sebab dipilih langsung oleh
Abu Bakar.
Umar masuk islam setelah mendengar
adiknya Fatimah membaca Al-Qur’an. Setelah ia masuk islam, umat islam berani
keluar dari rumah Arqam dan shalat dekat Ka’bah dengan dijaga Umar dan Hamzah.
Ia memerintah selama sepuluh tahun
enam bulan,yaitu dari tahun 13 H/643 M smapi tahun 23 H/644 M. Pada masa pemerintahannya,
banyak sekali negeri yang ditaklukkan sehingga daerah kekuasaan kaum muslimin
meliputi dari timur atas sebagian Persi sampai sungai Jihon (Amudariya), dari utara atas Suriyah dan negeri Armenia, dan
dari barat atas Mesir.
Pada masa pemerintahannya, dibangun
kota-kota besar islam seperti Fusthat,
Kufah, dan Basrah. Dan sebgian
besar kaum muslimin tinggal disana. Diantara mereka banyak terdapat sahabat dan
banyak pula penduduk non-arab yang masuk islam.
Selain itu, pada masa pemerintahannya
mulai dipergunakan istilah Amirul
Mukminin, yang artinya Emir dari kaum mukmin (Prince of Believers) , yaitu panggilan bagi seorang khalifah.
Sekalipun menjabat khalifah, ia tinggal dirumah biasa dan hidup sebagai rakyat
biasa di Madinah Al-Munawwarah, namun
dia tetap di segani dan di takuti oleh segala pihak.
Perkataan ‘Umar: سَمِعْتُ “Aku telah mendengar,” merupakan dalil (tanda) bahwasanya
beliau mendengar langsung dari Beliau Saw, tanpa adanya perantara. Yang sungguh
mengherankan bahwa hadits yang sangat penting ini tidak ada sahabat lain yang
meriwayatkannya kecuali ‘Umar, meskipun pentingnya perkara ini didukung oleh
ayat dan hadist yang banyak. Dalam al-Qur’an seperti firman Allah Swt:
$tBur cqà)ÏÿZè? wÎ) uä!$tóÏFö/$# Ïmô_ur «!$# ÇËÐËÈ
“ Dan janganlah kamu
membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah.” (Q.S Al-Baqarah: 272)
Ayat ini menunjukkan adanya niat.
Adapun dalam hadits, seperti sabda beliau kepada Sa’ad bin Abi Waqqash r.a:
وَاعْلَمْ أَنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً
تَبْتَغِي بِهَا وَ جْهَ اللَّهِ إِلَّا أُ جِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا
تَجْعَلَهُ فِيْ فِيِّ ا مْرَأَتِكَ.
“Dan ketahuilah, tidaklah nafkah yang
engkau berikan (kepada keluargamu) dengan mengikhlaskan diri mengharap
wajah-Nya, melainkan Allah akan membalasmu atasnya, sampai-sampai sesuatu yang
engkau letakkan pada mulut isterimu.”[1]
Sabda
beliau تَبْتَغِي بِهَا وَ جْهَ اللَّهِ “Engkau berharap dengannya wajah Allah,” ini menunjukkan
adanya niat. Walhasil, makna hadits tersebut di benarkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah.
Hanya ‘umar yang meriwayatkan lafaz hadits ini, akan tetapi umat islam menerima
dan mengamalkan hadits ini seolah-olah menjadi kesepakatan mereka, bahkan Imam
al-Bukhari mengawali kitabnya (as-Shahiih) dengan hadits ini.
Ia telah meriwayatkan hadis dari
Rasulullah Saw. sebanyak 537 hadis, 26 disepakati oleh Bukhari dan Muslim.
Bukhari menyendiri dalam 34 hadis dan Muslim 21 hadis. Ia meninggal karena
dibunuh dalam usia 63 tahun. Tragedi itu merupakan pembunuhan politik yang
pertama dalam islam.
c.
Asbabul
Wurud
Rasulullah mengeluarkan hadis diatas
ialah untuk menjawab pertanyaan salah seorang sahabat berkenaan dengan
peristiwa hijrahnya Rasulullah Saw. dari Mekkah ke Madinah yang diikuti oleh
sebagian besar sahabat. Dalam hijrah itu salah seorang laki-laki yang turut
juga hijrah. Akan tetapi, niatnya bukan untuk kepentingan perjuangan islam,
melainkan hendak menikahi seorang wanita yang bernama Ummu Qais. Wanita itu
rupanya sudah bertekad dan turut hijrah, sedangkan laki-laki tersebut pada
mulanya memilih tinggal di Mekkah. Ummu Qais hanya bersedia dikawini di tempat
tujuan hijrahnya Rasulullah Saw. yakni Madinah, sehingga laki-laki itu pun ikut
hijrah ke Madinah.
Ketika peristiwa itu ditanyakan
kepada Rasululah Saw. apakah hijrah dengan motif itu diterima (maqbul) atau tidak, Rasulullah Saw.
menjawab secara umum seperti disebutkan pada hadis di atas.
d.
Penjelasan
Hadis
Tujuan
adanya niat dalam suatu ibadah adalah untuk menjadi pembeda antara suatu
perbuatan yang hanya merupakan adat kebiasaan (yang tidak bernilai pahala)
dengan suatu amal ibadah (yang bernilai pahala). Tujuan lainnya adalah untuk
menjadi pembeda antar ibadah yang satu dengan ibadah lainnya.
Niat
sebagai pembeda antara amal kebiasaan dengan amal ibadah, misalnya:
Seseorang
makan sesuatu dengan dorongan keinginan saja, sementara teman yang satunya
makan makanan dalam rangka melaksanakan perintah Allah dalam salah satu firman-Nya:
{ وَ كُلُوْا وَاشْرَبُوْ } “Makan dan
minumlah” (Q.S Al-A’raaf: 31), maka kesimpulannya; orang kedua sedang
melakukan ibadah (yang dibalas dengan pahala), sedangkan yang pertama sedang
melaksanakan suatu kebiasaan yang tidak mendatangkan pahala.
Berkenaan dengan niat, sebagian ulama
mendefinisikan niat menurut syara’, sebagai berikut :
ﺍﻠﻨﻳﺔ ﻫﻲ ﻗﺼﺪ ﻓﻌﻞ ﺸﻰﺀ ﻤﻗﺘﺮ ﻨﺎ ﺑﻔﻌﻠﻪ .
“ Niat
adalah menyengajaknnya untuk berbuat sesuatu disertai (berbarengan) dengan
perbuatannya.”
Ada juga yang mendefinisikan dengan:
ﺍﻹﺮﺍﺪﺓ ﺍﻠﻤﺘﻮ ﺟﱢﻬﺔ ﻨﺤﻮﺍﻠﻔﻌﻞ ﻻﺑﺘﻐﺎﺀ ﺮﻀﺎﷲ ﻮﺍﻤﺘﺛﺎﻞ ﺤﻜﻤﻪ.
“Keinginan
yang ditujukan untuk mengerjakan suatu perbuatan sambil mengharapkan ridha
Allah SWT. Dan menjalankan hukuman-Nya.”
Disepakati bahwa tempat niat adalah
dalam hati dan dilakukan pada permulaan dan melakukan perbuatan untuk tujuan
amal kebaikan. Tentu saja, perbuatan yang di lakukan bukan bukan yang di larang
syara’. Niat berperan penting dalam ajaran islam, khususnya dalam perbuatan
yang berdasarkan perintah syara’ atau menurut sebagian ulama, dalam perbuatan
yang mengandung harapan untuk mendapatkan pahala dari Allah Swt. Niat akan
menentukan nilai,kualitas, serta hasilnya, yakni pahala yang akan di
perolehnya.
Orang yang berhijrah dengan niat
ingin mendapat keuntungan dunia atau ingin mengawini seorang wanita, ia tidak
akan mendapatkan pahala dari Allah Swt. Sebaliknya, kalau seseorang hijrah karena ingin mendapat ridha Allah
Swt, maka ia akan mendapatkannya, maka keuntungan dunia pun akan di raihnya.
Sebenarnya hijrah yang dimaksud pada
hadis diatas adalah berhijrah dari Mekkah ke Madinah karena pada saat itu
penduduk Mekkah tidak merespon dakwah Nabi, bahkan mereka ingin mencelakai Nabi
dan umat islam. Akan tetapi, setelah islam kuat, hijrah diatas lebih tepat
diartikan berpindah dari kemungkaran atau kebathilan kepada hak. Namun
demikian, niat tetap saja sangat berperan dalam menentukan berpahala atau
tidaknya setiap hijrah, apapun bentuknya.
Karena ketika manusia melakukan
hijrah, mereka mempunyai tujuan yang berbeda-beda:
Pertama: ada
diantara mereka yang hirah dan meninggalkan negrinya karena Allah dan
Rasul-Nya, yaitu dia hijrah supaya bisa melaksanakan syari’at Allah yang
disampaikan melalui lisan Rasul-Nya Saw. Hijrah semacam inilah yang mendapatkan
pahala kebaikan dan mendapatkan apa yang diinginkannya. Oleh karena itu, beliau
bersabda, “Maka hijrahnya itu karena Allah dan Rasul-Nya,” atau
mendapatkan apa yang diniatkannya.
Kedua: ada
diantara mereka yang hijrah untuk mendapatkan kekayaan dunia. Misalnya, seseorang
yang suka menumpuk-numpuk harta mendengar bahwa negeri islam adalah lahan yang
subur untuk mencari harta, kenudian dia berhijrah dari negri kafir itu menuju
ke negeri islam untuk mencari harta. Dia hijrah tanpa berniat untuk meluruskan
agamanya, tetapi yang diinginkan adalah harta.
Ketiga: orang
yang hijrah dari negeri kafir ke negeri islam dengan tujuan untuk mendapatkan
wanita yang akan dinikahinya. Misalnya, dikatakan kepada seseorang,”Saya tidak
akan menikahkanmu, kecuali di negeri islam. Dan janganlah kamu pergi bersamanya
ke negeri kafir.” Kemudian dia berhijrah dari negerinya menuju ke negeri islam
karena wanita tersebut. Itu berarti orang itu tidak berhijrah karena Allah dan
Rasul-Nya. Oleh karena itu, Rasulullah Saw. Bersabda, “Maka hijrahnya itu
mengikut kepada apa yang diniatkannya.”
Dan hijrah itu bukan hanya satu
macam, tetapi ada tiga: hijrah tempat, hijrah perbuatan, dan hijrah pelaku.
Para ulama telah sepakat bahwa niat
sangat penting dalam menentukan sahnya suatu ibadah. Niat termasuk rukun
pertama dalam melakukan ibadah. Tidaklah sah suatu ibadah, seperti shalat,
zakat, puasa, haji, dan lain-lain, bila dilakukan tanpa niat atau dengan niat
yang salah. Niat dalam arti motivasi, juga sangat menentukan diterima atau
tidaknya suatu amal oleh Allah Swt. Shalat umpamanya, yang dianggap sah dalam
pandangan syara’ karena memenuhi berbagai syarat dan rukunnya, belum tentu
diterima dan berpahala kalau motivasinya bukan karena Allah, tetapi karena
manusia seperti ingin dikatakan rajin, tekun, dan sebagainya. Motivasi dalam
melaksanakan setiap amal harus betul-betul ikhlas, hanya mengharap ridha Allah
saja, sebagai mana firman-Nya dalam Q.S Al-Bayyinah:5 :
!$tBur (#ÿrâÉDé& wÎ) (#rßç6÷èuÏ9 ©!$# tûüÅÁÎ=øèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm (#qßJÉ)ãur no4qn=¢Á9$# (#qè?÷sãur no4qx.¨9$# 4 y7Ï9ºsur ß`Ï ÏpyJÍhs)ø9$# ÇÎÈ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[2], dan supaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang
lurus.”
Adapun yang dimaksud ikhlas menurut Sayid Sabiq dalam buku Islamuna sbb
:
“ ikhlas adalah sikap manusia untuk menyengaja dengan
perkataan, perbuatan, dan jihadnya karena Allah semata dan karena mengharapkan
keridhaan-Nya. Bukan karena mengharapkan harta, pujian, gelar(sebutan),
kemasyhuran, dan kemajuan. Amalnya terangkat dari kekurangan-kekurangan dan
dari akhlak yang tercela sehinngga ia menemukan kesukaan Allah.”
Niat atau motivasi itu betempat dalam hati.
Siapapun tidak akan mengetahui motivasi apa yang ada didalam hati seseorang
ketika ia mengerjakan sesuatu, kecuali dirinya dan Allah saja. Dengan demikian
Allah Swt, mengetahui siapa diantara hamba-hamba-Nya yang memiliki motivasi baik
ketika ia beribadah atau sebaliknya. Allah Swt. Berfirman dalam Q.S Ali-‘imran:
29
ö@è% bÎ) (#qàÿ÷è? $tB Îû öNà2Írßß¹ ÷rr& çnrßö6è? çmôJn=÷èt ª!$# ...........3 ÇËÒÈ
“Katakanlah: "Jika
kamu Menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti
Allah Mengetahui..”.
Dengan demikian, seseorang yang melakukan
suatu amal dengan baik menurut pandangan manusia, tetapi motivasinya salah atau
tidak ikhlas, hal itu akan sia-sia karena Allah tidak akan melihat bentuk
zahirnya, tetapi melihat niat yang ada didalam hatinya.
Rasulullah
Saw. bersabda:
ﻋﻦ ﺍﺑﻰ ﻫﺮﻴﺮﺓ ﺮﻀﻲ ﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎ ﻞ: ﻗَﺎ ﻞ
ﺮﺴﻮﻞ ﷲ ﺼﻟﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻮ ﺴﻠﻡ: ﺇﻦ ﷲ ﻻﯾﻨﻈﺭ ﺇﻟﻰ ﺃﺠﺴﺎ ﻤﻜﻡ ﻮﻻ ﺇﻟﻰ ﺼﻮﺮﻜﻡ ﻮ ﻠﻜﻦ ﻴﻨﻈﺮ ﺇﻟﻰ
ﻘﻠﻮ ﺑﻜﻡ ﴿ ﺮﻮﺍﻩ ﻤﺴﻠﻡ ﴾
Artinya
:
“Dari Abu Huraira r.a., ia berkata:
Rasulullah Saw bersabda : ‘Sesungguhnya
Allah Swt. Tidak melihat bentuk badan dan rupamu tetapi melihat (memperhatikan
niat dan keikhlasan dalam) hatimu.” (H.R Muslim)
Dengan demikian orang yang tidak ikhlas
dalam melakukan perintah Allah Swt., misalnya untuk mendapatkan keuntungan
dunia semata, Allah akan memberinya balasan di dunia, tetapi Dia tidak akan
memberikan apa-apa kelak di akhirat, sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. Hud:
15-16 :
`tB tb%x. ßÌã no4quysø9$# $u÷R9$# $uhtFt^Îur Åe$uqçR öNÍkös9Î) öNßgn=»yJôãr& $pkÏù óOèdur $pkÏù w tbqÝ¡yö7ã ÇÊÎÈ y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# }§øs9 öNçlm; Îû ÍotÅzFy$# wÎ) â$¨Y9$# ( xÝÎ7ymur $tB (#qãèuZ|¹ $pkÏù ×@ÏÜ»t/ur $¨B (#qçR$2 tbqè=yJ÷èt ÇÊÏÈ
“ Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya,
niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan
sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang
tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa
yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka
kerjakan[3].”
Jadi,
tidaklah heran jika seseorang yang masih hidup didunia sudah melakukan amal
kebaikan, namun di akhirat tidak menemukan apa-apa karena perbuatan tersebut
tidaklah secara ikhlas sehingga amalnya bagai debu yang bertebaran.
Bagaimanapun Allah Swt. Mengetahui segala
sesuatu yang ada didalam hati seseorang, dan tidak akan menerima begitu saja
amal setiap orang sebelum melihat motivasi sebenarnya. Allah Swt, berfirman
dalam Q.S. Al-Furqan: 23 :
!$uZøBÏs%ur 4n<Î) $tB (#qè=ÏJtã ô`ÏB 9@yJtã çm»oYù=yèyfsù [ä!$t6yd #·qèWY¨B ÇËÌÈ
“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka
kerjakan[4], lalu Kami jadikan
amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.”
Gambaran
orang yang beramal dengan niat ikhlas atau sebaliknya digambarkan dalam
Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 265 dan 266:
ã@sWtBur tûïÏ%©!$# cqà)ÏÿYã ãNßgs9ºuqøBr& uä!$tóÏGö/$# ÅV$|ÊötB «!$# $\GÎ7ø[s?ur ô`ÏiB öNÎgÅ¡àÿRr& È@sVyJx. ¥p¨Yy_ >ouqö/tÎ/ $ygt/$|¹r& ×@Î/#ur ôMs?$t«sù $ygn=à2é& Éú÷üxÿ÷èÅÊ bÎ*sù öN©9 $pkö:ÅÁã ×@Î/#ur @@sÜsù 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? îÅÁt/ ÇËÏÎÈ uqtr& öNà2ßtnr& br& cqä3s? ¼çms9 ×p¨Yy_ `ÏiB 9@ϯR 5>$oYôãr&ur Ìôfs? `ÏB $ygÏFóss? ã»yg÷RF{$# ¼çms9 $ygÏù `ÏB Èe@à2 ÏNºtyJ¨W9$# çmt/$|¹r&ur çy9Å3ø9$# ¼ã&s!ur ×pÍhè âä!$xÿyèàÊ !$ygt/$|¹r'sù Ö$|ÁôãÎ) ÏmÏù Ö$tR ôMs%utIôm$$sù 3 Ï9ºxx. ÚúÎiüt7ã ª!$# ãNà6s9 ÏM»tFy$# öNä3ª=yès9 crã©3xÿtGs? ÇËÏÏÈ
“Dan perumpamaan
orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan
untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran
Tinggi yang disiram oleh hujan lebat, Maka kebun itu menghasilkan buahnya dua
kali lipat. jika hujan lebat tidak menyiraminya, Maka hujan gerimis (pun
memadai). dan Allah Maha melihat apa yang kamu perbuat.”
“Apakah ada salah seorang di antaramu yang
ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai;
Dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa
tua pada orang itu sedang Dia mempunyai keturunan
yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api,
lalu terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu
supaya kamu memikirkannya[5].”
Pernyataan
sebagian ulama salaf , sebagaimana
diebutkan M.Yunan Nasution dalam buku Pandangan
Hidup 2, tentang niat patut direnungkan:
ﺮﺐ ﻋﻤﻞ ﺼﻐﻴﺮ ﺗﻌﻇﻤﻪ ﺍ ﻠﻨﻴﺔ ﻮ ﺮﺐ ﻋﻤﻞ
ﻜﺑﻴﺮ ﺗﺼﻐﺮﻩ ﺍ ﻟﻨﻴﺔ
.”Kerapkali amal
kecil menjadi besar karena (baik) niatnya; dan seringkali juga amal yang besar
menjadi kecil karena (salah) niatnya.”
e.
Fiqh Al-Hadis
Niat
sangat menentukan sahnya suatu perbuatan syara’, dan motivasi sangat menentukan
diterimanya suatu perbuatan (ibadah). Allah Swt akan menerima amal ibadah yang
diniati keikhlasan serta hanya mengharap ridha-Nya.
UNTUK MENDAPATKAN MAKALAH DENGAN FORMAT YANG BENAR SILAHKAN DOWNLOAD DISINI
[1] HR.
Al-Bukhari, kitab al-Iimaan, bab: Maa Ja-a annal A’maala binniyyaati
wal Hisbah, walikullimri-in Maa Nawaa (no. 56). Muslim, kitab al-Washiyyah
bab: al-Washiyyatu bits tsuluuts ( no. 1628(5)).
[4] Yang dimaksud dengan amal mereka disini ialah amal-amal mereka
yang baik-baik yang mereka kerjakan di dunia amal-amal itu tak dibalasi oleh
Allah karena mereka tidak beriman.
[5] Inilah
perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya karena riya, membangga-banggakan
tentang pemberiannya kepada orang lain, dan menyakiti hati orang.
EmoticonEmoticon