MAKALAH ILMU KALAM TENTANG INKARUSSUNNAH

KATA PENGANTAR

          Puji syukur al-hamdulillah, kami ucapkan atas karunia dan nikmat Allah SWT sehingga kami bisa menyelesaikan tugas makalah kelompok dengan judul Ingkarus-sunnah ini untuk melengkapi tugas kelompok mata kuliah Studi Hadis.
          Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada Desen Pengampu yang telah memberikan bimbingan dan bekal untuk menyelesaikan makalah ini. Ucapan terimakasih juga kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu kami menyelesaikan makalah ini.
          Kami sangat menyadari bahwa kami adalah manusia biasa yang jauh dari kesempurnaan.  Begitu juga dengan karya kami ini yang juga jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami mengharap kritik dan saran dari semua pihak demi perbaikan-perbaikan dimasa yang akan datang dan semoga kita senantiasa mendapat petunjuk dan pertolongan Allah SWT. Amin


Banda Aceh, 17 Desember 2013


Penulis



BAB I
PENDAHULUAN
1.1.       Latar Belakang
Pengetahuan kita terhadap hadits yang begitu minim untuk mengidentifikasinya apakah hadits tersebut adalah hadits Shahih, Hasan, Dhaif, ataupun maudhu’ (palsu) merupakan kelemahan yang tak perlu kita tutupi. Tapi melihat fenomena ini setidaknya ada upaya kita untuk mempelajari seluk-beluk hadits dan bagaimana kualitasnya.
Tampaknya, di antara pembahasan-pembahasan menyangkut studi Hadits, pembahasan ini dapat dikatagorikan sebagai pembahasan yang urgen. Mengapa tidak? Seiring dengan ketidaktahuan terhadap status sebuah hadits, jangan-jangan dikhawatirkan kita malah berpedoman pada sebuah hadits yang ternyata itu bukanlah hadits, melainkan pemalsuan yang telah terjadi.
Namun, kekhawatiran ini ternyata direspon lebih ekstrim dari segelintir oknum yang menamai diri mereka dengan golongan Inkar al-Sunnah. Akibat dari efek hadits palsu yang begitu merajalela menimbulkan suatu sifat yang tidak percaya lagi terhadap suatu hadits dan dengan serta-merta menjustifikasi bahwa Hadits bukanlah  suatu hal yang tepat untuk dijadikan sebagai hujjah dan argumentasi-argumentasi sandaran hukum.
Ironis memang, tapi inilah yang terjadi. Mengingat fenomena yang telah kita rasakan saat ini, penulis merasa penting untuk menyusun suatu makalah presentatif yang menyinggung perihal Inkar al-Sunnah

1.2.       Rumusan Masalah
ü  Apa pengertian Inkar al-Sunnah?
ü  Bagaimana awal munculnya Inkar al-Sunnah?
ü  Faktor apa saja yang melatarbelakangi Inkar al-Sunnah?

1.3.       Tujuan
ü  Memahami Pengertian Inkar al-Sunnah.
ü  Mengetahui Awal munculnya Inkar al-Sunnah.
ü  Mengetahui Faktor yang melatarbelakangi Inkar al-Sunnah.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Inkarus-Sunnah
Ingkar sunnah terdiri dari dua kata yaitu Ingkar dan Sunnah. Ingkar, Menurut bahasa, artinya “menolak atau mengingkari”, berasal dari kata kerja, ankara-yunkiru. Sedangkan Sunnah, menurut bahasa mempunyai beberapa arti diantaranya adalah, “jalan yang dijalani, terpuji atau tidak,” suatu tradisi yang sudah dibiasakan dinamai sunnah, meskipun tidak baik. Secara definitif Ingkar al-Sunnah dapat diartikan sebagai suatu nama atau aliran atau suatu paham keagamaan dalam masyarakat Islam yang menolak atau mengingkari Sunnah untuk dijadikan sebagai sumber sandaran syari’at Islam.[1]
Kata “Ingkar Sunnah” dimaksudkan untuk menunjukkan gerakan atau paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak hadits atau sunnah sebagai sumber kedua hukum Islam.[2]

Menurut Imam Syafi’i, Sunnah Nabi saw ada tiga macam:
1.      Sunnah Rasul yang menjelaskan seperti apa yang di nash-kan oleh al-Qur’an.
2.      Sunnah Rasul yang menjelaskan makna yang dikehendaki oleh al-Qur’an. Tentang kategori kedua ini tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama.
3.      Sunnah Rasul yang berdiri sendiri yang tidak ada kaitannya dengan al-Qur’an.[3]

B.     Sejarah Ingkar Sunnah
1.      Ingkar Sunnah Pada Masa Periode Klasik
Pertanda munculnya “Ingkar Sunnah” sudah ada sejak masa sahabat, ketika Imran bin Hushain (w. 52 H) sedang mengajarkan hadits, seseorang menyela untuk tidak perlu mengajarkannya, tetapi cukup dengan mengerjakan al-Qur’an saja. Menanggapi pernyataan tersebut Imran menjelaskan bahwa “kita tidak bisa membicarakan ibadah (shalat dan zakat misalnya) dengan segala syarat-syaratnya kecuali dengan petunjuk Rasulullah saw. Mendengar penjelasan tersebut, orang itu menyadari kekeliruannya dan berterima kasih kepada Imran.
Sikap penampikan atau pengingkaran terhadap sunnah Rasul saw yang dilengkapi dengan argumen pengukuhan baru muncul pada penghujung abad ke-2 Hijriyah pada awal masa Abbasiyah.[4]
Di Indonesia, pada dasawarsa tujuh puluhan muncul isu adanya sekelompok muslim yang berpandangan tidak percaya terhadap Sunnah Nabi Muhammad SAW. Dan tidak menggunakannya sebagai sumber atau dasar agama Islam. Pada akhir tujuh puluhan, kelompok tersebut tampil secara terang-terangan menyebarkan pahamnya dengan nama, misalnya, Jama’ah al-Islamiah al-Huda, dan Jama’ah al-Qur’an dan Ingkar Sunnah, sama-sama hanya menggunakan al-Qur’an sebagai petunjuk dalam melaksanakan agama Islam, baik dalam masalah akidah maupun hal-hal lainnya. Mereka menolak dan mengingkari sunnah sebagai landasan agama.[5]

Imam Syafi’i membagi mereka kedalam tiga kelompok, yaitu :
1.      Golongan yang menolak seluruh Sunnah Nabi SAW.
2.      Golongan yang menolak Sunnah, kecuali bila sunnah memiliki kesamaan dengan petunjuk al-Qur’an.
3.      Mereka yang menolak Sunnah yang berstatus Ahad dan hanya menerima Sunnah yang berstatus Mutawatir.[6]

Dilihat dari penolakan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kelompok pertama dan kedua pada hakekatnya memiliki kesamaan pandangan bahwa mereka tidak menjadikan Sunnah sebagai hujjah. Para ahli hadits menyebut kelompok ini sebagai kelompok Inkar Sunnah.

ü  Argumen kelompok yang menolak Sunnah secara totalitas
Banyak alasan yang dikemukakan oleh








UNTUK MENDAPATKAN MAKALAH SECARA LENGKAP DALAM FORMAT MICROSOFT WORD SILAHKAN DOWNLOAD DISINI


[1] M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta :Gaung Persada Pressta, 2008) hal: 200
[2] Suyitno, Studi Ilmu-Ilmu Hadits, (Palembang : IAIN Raden Fatah Press, 2006) Hal : 275.
[3] Op. Cit,  Antologi Ilmu Hadits, hal: 207.
[4] Ibid, hlm. 277.
[5] Log. Cit, Antologi Ilmu Hadits,  hlm. 200.
[6] M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, Bandung: Angkasa 1991, hlm. 141.


EmoticonEmoticon

google4d1ad84db60295b5.html