MAKALAH ILMU KALAM TENTANG USHULUL KHAMSAH MU'TAZILAH

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang

                Secara etimologi, Mu’tazilah berasal dari kata “i’tizal” yang artinya menunjukkan kesendirian, kelemahan, keputus-asaan, atau mengasingkan diri. Sedang secara terminologi sebagian ulama mendefenisikan Mu’tazilah sebagai satu kelompok dari Qodariyah yang berselisih pendapat dengan umat Islam yang lain dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin Atha’ dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al-Bashri. Golongan mu’tazilah dikenal juga dengan nama-nama lain seperti ahl al-adl yang berarti golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan dan ahl al-tawhid wa al-adl yang berarti golongan yang mempertahankan keesaan murni dan keadilan Tuhan.        Lawan mu’tazilah memberi nama golongan ini dengan Al-Qadariyah karena mereka menganut faham free will and free act. Selain itu, mereka menamainya dengan Al-mu’attilah karena mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, dalam arti sifat mempunyai wujud di luar zat Tuhan. Mereka juga dinamai dengan wadi’ah, karena mereka berpendapat bahwa ancaman Tuhan itu pasti akan menimpa orang-orang yang tidak taat akan hukum-hukum Tuhan. Golongan ini memiliki lima ajaran dasar yang dikenal dengan ushulul khamsah.


B.Rumusan masalah

               Apa pengertian juga penjelasan dari isi ushulul khamsah mu’tazilah.

C.TUJIUAN PENULISAN

              Adapun  tujuan penulis dalam penulisan makalah ini ialah untuk menambah wawasan dan pengetahuan kita seputar aliran-aliran kalam selain itu juga untuk memenuhi tugas mata kuliah ilmu kalam.


BAB II
PEMBAHASAN



                Kelima ajaran dasar mu’tazilah yang tertuang dalam Al-ushul al-khamsah adalah at-tauhid (pengesaan tuhan), al-adl (keadilan tuhan), al-waad wa al-wa’id (janji dan ancaman tuhan), al-manzilah bain al-manzilatain (posisi diantara dua posisi) dan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy an al-mungkar (menyerukan kepada kebaikan dan mencegah pada kemungkaran).

 1.  At-Tauhid

                At-tauhid (pengesaan Tuhan), merupakan prinsip utama dan intisari ajaran mu’tazilah. Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam islam memegang doktrin ini. Namun, bagi mu’tazilah, tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaeseaan-Nya. Tuhanlah satu-satunya yang esa, yang unik dan tidak ada satupun yang menyamainya. Oleh karena itu, hanya Dialah yang qadim. Jika ada lebih dari satu yang qadim, maka telah menjadi ta’addud al-qudama (berbilangnya dzat yang tak berpermulaan). Untuk memurnikan keesaan Tuhan (tazih), mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat, menggambarkan fisik Tuhan (antromorfisme tajassum), dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan itu esa, tak ada satupun yang menyamai-Nya. Dia maha melihat, mendengar, kuasa, mengetahui dan sebagainya. Namun, itu semua bukanlah sifat Allah, malainkan dzat-Nya. Menurut mereka, sifat adalah sesuatu yang melekat. Bila sifat Tuhan itu qodim, maka yang qodim itu berarti ada dua, yaitu dzat dan sifat-Nya. Wasil bin Atha’ seperti yang dikutip oleh Asy-Syahrastani  mengatakan “siapa yang mengatakan sifat yang qadim, berarti telah menduakan Tuhan”. Ini tidak dapat diterima karena merupakan perbuatan syirik.
                Apa yang disebut dengan sifat menurut mu’tazilah adalah dzat Tuhan itu sendiri. Abu Hudzail, sebagaimana dikutip oleh Musthafa Muhammad, berkata “Tuhan mengetahui dengan ilmu, dan ilmu itu adalah Tuhan itu sendiri. Tuhan berkuasa dengan kekuasaan-Nya, dan kekuasaan itu adalah tuhan itu sendiri”. Dengan demikian, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan adalah Tuhan itu sendiri, yaitu dzat dan esensi Tuhan, bukan sifat yang menempel pada dzat-Nya.
                Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-qur’an itu baru (diciptakan), Al-qur’an adalah manifestasi dari kalam Tuhan, Al-qur’an terdiri atas rangkaian huruf, kata, dan bahasa yang satunya mendahului yang lainnya.
                Harun Nasution mencatat perbedaan antara Al-jubba’I dengan Abu Hasyim  adalah pernyataan bahwa “Tuhan mengetahui dengan esensi-Nya”. Menurut al-Jubba’i, arti pernyataan tersebut adalah untuk mengetahui bahwa Tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui. Adapun menurut abu hasyim, pernyataan tersebut berarti Tuhan memliki keadaan mengetahui, sungguhpun demikian, mereka sepakat bahwa Tuhan tidak memilikki sifat.
                Terlepas dari adanya anggapan bahwa Abu al-Hudzail mengambil konsep nafy ash-shifat (peniadaan sifat Allah) dari pendapat Aristoteles. Agaknya beralasan, bila para pendiri mazhab ini lebih berbangga dengan sebutan ahl al-adli wa at-tauhid (pengikut faham keadilan dan keesaan tuhan). Ini terlihat dari upaya keras mereka untuk mengesakan Allah dan menempatkannya benar-benar adil.
                Doktrin tauhid Mu’tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa tidak ada satupun yang dapat menyamai Tuhan. Begitu pula sebaliknya, Tuhan tidaklah sama dengan makhluk-Nya. Tuhan adalah immateri. Oleh karena itut tidak layak bagi-Nya setiap atribut materi. Segala mengesankan adanya kejisiman Tuhan, bagi mu’tazilah tidak dapat diterima oleh akal dan itu adalah mustahil. Maha suci Tuhan dari penyerupaan dengan yang diciptakan nya. Tegasnya, mu’tazil antropomorfisme.
                Penolakan terhadap faham antropomorfostik bukan semata-mata atas pertimbangan akal, melainkan memiliki rujukan yang sangat kuat di dalam Al-Qur’an. Mereka berlandaskan pada pernyataan Al-Qur’an yang berbunyi:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Artinya: “tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia”(QS. Asy syuraa 42:11)

                Memang tidak dapat dibantah bahwa mu’tazilah sebagaimana aliran lain , telah terkena pengaruh filsafat yunani, namun hal itu tidak menjadikannya sebagai pengikut buta hellenisme. Usaha keras mereka yang telah menghabiskan banyak waktu dan energi benar-benar membuahkan hasil. Dengan didorong oleh semangat keagamaan yang kuat, pemikiran hellenistik yang telah mereka pelajari, dijadikan senjata mematikan terhadap serangan para penentangnya,yakni para muhadditsin rafidah manichscanisme, dan berbagai aliran keagamaan yang lain di India.
                Untuk menegaskan penilaiannya terhadap antropomorfisme, Mu’tazilah memberi takwil terhadap ayat-ayat yang secara lahir menggambarkan kejisiman Tuhan. Mereka mamalingkan arti kata-kata tersebut pada arti kata yang lain, sehingga hilanglah kejisiman Tuhan. Tentu saja pemindahan ini dilakukan secara semena-mena, tetapi merujuk pada konteks kebahasaan yang lazim digunakan dalam bahasa Arab. Beberapa contoh yang dapat dikemukakan disini, misalnya kata-kata tangan (Q.S shad 38:75) diartikan “kekuasaan”. Pada konteks yang lain (Q.S. al-Maidah 5:64) di artikan “nikmat”. Kata wajah ((Q.S. ar-Rahman 55:27) diartikan “esensi” dan “dzat”, sedangkan al-asyri ((Q.S. Thaha 20:5) diartikan “kekuasaan”.
                Penolakan Mu’tazilah terhadap pendapat bahwa Tuhan dapat dilihat oleh mata kepala merupakan konsekuensi logis dari penolakannya terhadap antropomorfisme. Tuhan adalah immateri, tidak tersusun dari unsur, tidak terikat oleh ruang dan waktu, dan tidak berbentuk. Adapun yang dapat dilihat hanyalah yang berbentuk dan yang memiliki ruang saja. Andaikan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat, tentu di duniapun Dia dapat dilihat oleh mata kepala. Oleh karena itu,melihat (Q.S. al-Qiyamah 75:22-23) di takwilkan dengan “mengetahui”.

 2.  Al-Adl

                Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al-adl yang berarti “Tuhan maha adil”. Adil ini merupakan sifat yang paling gambling untuk menunjukkan kesempurnaan. Karena Tuhan maha sempurna, Dia sudah pasti adil. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, kerena diciptakannya alam semesta ini sesungguhnya untuk kepentingan manusia. Tuhan dikatakan adil jika bertindak hanya yang baik (ash-saleh) dan terbaik (al-ashlah), dan bukan yang tidak baik. Begitu pula Tuhan itu dipandang adil jika tidak menyalahi/ melanggar janjinya.Dengan demikian, Tuhan terikat oleh janjinya.

Ajaran tentang keadilan ini berkaitan erat dengan beberapa hal, antara lain:

 a.   Perbuatan Manusia

                Manusia menurut mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan tuhan, baik secara langsung atau tidak.Manusia benar-benar bebas menentukan pilihan perbuatannya; baik atau buruk. Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan yang buruk.

 b.   Berbuat Baik dan Terbaik

                Dalam istilah arabnya, berbuat baik dan terbaik disebut ash-shslah wa al-ashlah. Maksudnya adalah kewajiban Tuhan untuk berbuat baik, bahkan yang terbaik untuk manusia. Tuhan tidak mungkin berbuat jahat dan aniaya karena akan membuat kesan bahwa Tuhan itu penjahat dan penganiaya, dan itu sesuatu yang tidak layak bagi Tuhan. Jika Tuhan berlaku jahat kepada sesorang, dan berbuat baik kepada yang lain, berarti Tuhan tidak adil. Dengan sendirinya, Tuhan juga tidak maha sempurna.Bahkan menurut An-Nazam, salah satu tokoh mu’tazilah, Tuhan tidak dapat berbuat jahat. Konsep ini berkaitan dengan kebijaksanaan, kemurahan, dan kepengasihan Tuhan, yaitu sifat-sifat yang layak bagi-Nya. Artinya, bila Tuhan tidak bertindak seperti itu berarti dia tidak bijaksana, pelit dan kasar/kejam

c.    Mengutus Rasul

                Mengutus rasul kepada manusia merupakan kewajiban Tuhan, karena alasan-alasan berikut ini :

                Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali dengan mengutus rasul kepada mereka.
Al-qur’an secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk memberikan belas kasih kepada manusia (Q.S asy-syuro 26:29). Cara terbaik untuk maksud tersebut adalah dengan mengutus rasul
 Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada Allah. Agar tujuan tersebut berhasil, maka tidak ada jalan lain kecuali dengan mengutus rasul.

3.  Al-Wa’d Wa Al-Wa’id

                Ajaran ketiga ini sangat erat hubungannya dengan ajaran kedua di atas. Al-wa’d wa al-wa’id berarti janji dan ancaman. Tuhan yang maha adil dan maha bijaksana tidak akan melanggar janji-Nya. Perbuatan Tuhan terikat dan dibatasi oleh janji-Nya sendiri, yaitu memberi pahala berupa surga bagi orang yang mau berbuat baik (al-muthi) dan mengancam dengan siksa neraka bagi orang yang durhaka (al-ashi). Begitu pula janji Tuhan untuk memberi pengampunan bagi yang mau bertobat nashuha, pasti benar adanya.
                Ini sesuai dengan prinsip keadilan. Jelasnya, siapapun yang berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan pula dan juga sebaliknya, siapa yang berbuat jahat akan dibalas denga siksa yang pedih. Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang bagi Tuhan, selain menuaikan janji-Nya. Yaitu memberi pahala bagi orang yang taat dan menyiksa orang-orang yang berbuat maksiat, kecuali bagi yang sudah bertobat nasuha. Tidak ada harapan bagi pendurhaka, kecuali bila ia bertobat. Kejahatan dan kedurhakaan yang menyebabkan pelakunya masuk kedalam neraka ,merupakan dosa besar, sedangkan bagi dosa kecil, mungkin Allah mengampuninya. Ajaran ini tampaknya bertujuan mendorong menusia berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa

4.  Manzilah Bain Al-Manzilataini

                Inilah ajaran yang mula-mula melahirkannya aliran Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar. Seperti yang tercatat dalam sejarah, khawarij menganggap orang tersebut sebagai orang musyrik, sedangkan murji’ah berpendapat bahwa orang itu tetap mu’min dan dosanya sepenuhnya diserahkan sepenuhnya pada Tuhan. Boleh jadi dosa itu diampuni Tuhan. Adapun pendapat wasil bin ata’ (pendiri mazhab Mu’tazilah) lain lagi. Menurutnya, orang tersebut, berada diantara dua posisi (al-manzilah bain al-manzilatain). Karena ajaran ini, wasil bin ata’ dan sahabatnya amr bin ubaid harus memisahkan diri (I’tizal) dari majlis gurunya, hasan al-basri. Berawal dari ajaran itulah dia membangun mazhabnya.
                Pokok ajaran ini adalah bahwa mu’min yang melakukan dosa besar dan belum tobat bukan lagi mu’min atau kafir, tetapi fasiq. Izutsu, dengan mengutip ibn hazm, menguraikan pandangan mu’tazilah sebagia berikut “orang yang melakukan dosa besar disebut fasiqin . Ia bukan mu’min bukan pula kafir, bukan pula munafik (hipokrit).”Mengomentari pendapat tersebut izutsu menjelaskan bahwa sikap mu’tazilah adalah membolehkan hubungan perkawinan dan warisan antara mu’min pelaku dosa besar dan mu’min lain dan dihalalkannya binatang sembelihannya.
                Menurut pandangan mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan sebagai mu’min secara mutlak. Hal ini karena keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada Tuhan, tidak cukup hanya dengan pengakuan dan pembenaran. Bagi pelaku dosa besar, tidak dapat dikatakan kafir secara mutlak karena ia masih percaya kepada Tuhan dan rasul-Nya, dan masih mengerjakan kebaikan. Hanya saja, kalau meninggal dan belum bertobat, maka ia akan dimasukkan kedalam neraka dan kekal didalamnya. Orang fasikpun akan dimasukkan kedalam neraka, hanya saja siksaannya lebih ringan dari pada orang kafir. Jikalau ada pertanyaan “mengapa orang fasik tidak dimasukkan kedalam surga yang lebih rendah dibandingkan orang mu’min sejati?”. Tampaknya disini mu’tazilah ingin mendorong agar manusia tidak meremehkan dosa, baik besar maupun yang kecil.

5.  Al- Amr Bi Al-Ma’ruf Wa An-Nahy An-Munkar

                Ajaran dasar yang kelima adalah menyuruh pada kebajikan dan melarang pada kemunkaran (Al-amr bi Al-ma’ruf wa An-nahy an-Munkar). Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan mengajak pada kebajikan dan melarang pada kemunkaran.

                Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mu’min dalam beramar ma’ruf nahy munkar, seperti yang dijelaskan oleh salah seorang tokohnya, Abd Al-Jabbar, yaitu berikut ini:

ia mengetahui yang disuruh itu memang ma’ruf dan yang dilarang itu adalah munkar
ia mengetahui bahwa kemungkaran telah nyata dilakukan orang
ia mengetahui bahwa perbuatan amr ma’ruf atau nahy mun’kar tidak akan membawa mudharat yang lebih besar.
 ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak membahayakan diri dan hartanya.

                Al-amr bi al-ma’ruf wa an-nahy an-munkar bukan monopoli Konsep mu’tazilah. Frase tersebut sering digunakan dalam Al-Qur’an. Arti al-ma’ruf adalah apa yang telah diakui dan diterima oleh masyarakat karena Mengandung kebaikan dan kebenaran. Lebih spesifiknya, al-ma’ruf adalah apa yang diterima dan diakui Allah. Sedangkan al-munkar adalah sebaliknya, yaitu sesuatu yang tidak dikenal, tidak diterima, atau buruk. Frase tersebut berarti seruan untuk berbuat sesuatu sesuai dengan keyakinan sebenar-benarnya serta menahan diri dengan mencegah timbulnya perbuatan yang bertentangan dengan norma tuhan.
                Perbedaan mazhab Mu’tazilah dengan mazhab yang lain mengenai ajaran kelima ini terletak pada tatanan pelaksanaannya. Menurut Mu’tazilah, jika memang diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut. Sejarahpun telah mencatat kekerasan yang pernah dilakukannya ketika menyiarkan ajaran-ajarannya.


BAB III
Penutup


1.  kesimpulan
                
Berdasarkan pembahasan masalah diatas dapat disimpulkan bahwa:

a.    Secara etimologi, Mu’tazilah berasal dari kata “i’tizal” yang artinya menunjukkan kesendirian,   kelemahan, keputus-asaan, atau mengasingkan diri. Sedang secara terminologi sebagian ulama                 mendefenisikan Mu’tazilah sebagai satu kelompok dari Qodariyah yang berselisih pendapat                dengan umat Islam yang lain dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin Atha’ dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al-Bashri. Golongan mu’tazilah         dikenal juga dengan nama-nama lain seperti ahl al-adl yang berarti golongan yang            mempertahankan keadilan Tuhan dan ahl al-tawhid wa al-adl yang berarti golongan yang              mempertahankan keesaan murni dan keadilan Tuhan.   Lawan mu’tazilah memberi nama         golongan ini dengan Al-Qadariyah karena mereka menganut faham free will and free act. Selain              itu, mereka menamainya dengan Al-mu’attilah karena mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak              mempunyai sifat, dalam arti sifat mempunyai wujud di luar zat Tuhan. Mereka juga dinamai         dengan wadi’ah, karena mereka berpendapat bahwa ancaman Tuhan itu pasti akan menimpa             orang-orang yang tidak taat akan hukum-hukum Tuhan. Golongan ini memiliki lima ajaran dasar           yang dikenal dengan ushulul khamsah.

b.    Kelima ajaran dasar mu’tazilah yang tertuang dalam Al-ushul al-khamsah adalah at-tauhid           (pengesaan Tuhan), al-adl (keadilan Tuhan), al-waad wa al-wa’id (janji dan ancaman Tuhan), al- manzilah bain al-manzilatain (posisi diantara dua posisi) dan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy an       al-mungkar (menyerukan kepada kebaikan dan mencegah pada kemungkaran).


2.            kritik dan saran
Karena keterbatasan ilmu, hingga makalah ini tidaklah sempurna, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak agar pada penulisan makalah-makalah kami yang selanjutnya dapat lebih baik lagi.























Daftar Pustaka

Razak, Abdur dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia, 2006
Muhammad, Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, Bandung: apustaka Setia, 1998

Abu Zahrah, Muhammad,  Aliran Politik Dan Aqidah Dalam Islam, Jakarta : Logos Publishing House, 1996


EmoticonEmoticon

google4d1ad84db60295b5.html