Makalah Tentang Etika dan Peraturan Pemasaran Asuransi Syariah



BAB I
PENDAHULUAN

A.  LATAR BELAKANG
Jika melihat perkembangan bisnis syariah termasuk juga lembaga-lembaga syariah di negara-negara muslim lainnya seperti Kuwait, Uni Emirat Arab, Malaysia, bahkan Singapura, Indonesia sudah tertinggal cukup jauh. Tak kalah heboh, Negara-negara Eropa pun kini sedang berpikir untuk membuka unit-unit usaha syariah. Salah satu bisnis syariah adalah asuransi sayariah. Tentu dalam melakukan bisnis harulah mempunyai etika agar bisnis yang dijalankan bisa berjalan dengan baik. Di zaman klasik bahkan juga di era modern, masalah etika bisnis dalam dunia ekonomi tidak begitu mendapat tempat.  Karena pengaruh dari ekonomi kontemporer yang tidak memperdulikan etika.
Dalam asuransi syariah juga harus memiliki etika dan pengaturan pemasaran agar bisnis yang dijalani bisa berjalan dengan lancar.  Dalam makalah ini kami akan  membahas tentang etika dan peraturan pemasaran dalam asuransi syariah.

B.  RUMUSAN MASALAH
1.      Apa Yang Dimaksud Dengan Etika Dan Pemasaran?
2.      Bagaimana Etika Dalam Asuransi Syariah?
3.      Bagaimana Teknik Memasarkan Program Asuransi Syariah?

C.  TUJUAN MAKALAH
1.      Dapat Menggetahui Apa Itu Etika Dan Pemasaran
2.      Dapat Mengetahui Etika Dalam Asuransi Syariah
3.      Dapat Mengetahui Teknik Pemasaran Dalam Asuransi Syariah





BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN ETIKA DAN PEMASARAN
1.      Pengertian etika
Etika berasal dari Bahasa Yunani Kuno ethos. Dalam bentuk kata tunggal kata tersebut mempunyai banyak arti, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap dan cara berfikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah adat kebiasaan,  arti terakhir inilah menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah “Etika” yang oleh filosof Yunani Besar, Aristoteles (384-322SM) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral.[1]
Dalam kamus Inggris, etika (ethic) mengandung empat pengertian. Pertama, etika adalah prinsip tingkah laku yang baik atau kumpulan dari prinsip-prinsip itu. Kedua, etika merupakan sistem prinsip-prinsip atau nilai-nilai moral. Ketiga, dalam kata-kata “ethics” yaitu “ethic” dengan tambahan “s” tapi dalam penggunaan mufrad atau singular, diartikan sebagai kajian tentang hakikat umum moral. Keempat, “ethics” yaitu “ethic” dengan tambahan mufrad (tunggal) dan jamak (plural), ialah ketentuan-ketentuan atau ukuran-ukuran yang mengatur tingkah laku para anggota suatu profesi.[2]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia etika dijelaskan dengan arti ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Etika juga diartikan kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. Serta diartikan  nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.

2.      Pengertian Pemasaran
 Pemasaran berasal dari kata pasar,  yang dalam konteks tradisional diartikan dengan “tempat orang yang berjual beli”. Pemasaran adalah proses, cara, pembuatan, dan memasarkan suatu barang dagangan.[3] Dalam literatur Arab-Islam, pasar disebut assuq, jamaknya aswaq. Sedangkan pemasaran disebut dengan at-taswiq.
Pemasaran dalam asuransi baik konvensional maupun asuransi syariah dilakukan oleh agen asuransi ketentuan ini diatur dalam regulasi perundang-undangan Indonesia yaitu dalam pasal 3 ayat (5) Undang-undang No. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian. Dalam undang-undang tersebut juga mengatur mengenai kegiatan agen asuransi hanya boleh melakukan usaha pemasaran bagi satu perusahaan saja. Ini sesuai dengan pasal 5 huruf e undang-undang No. 2 Tentang Usaha Perasuransian.[4]
Efisiensi dalam pemasaran produk asuransi syariah dapat diukur dari terpenuhi salah satu unsur dibawah ini:
·      Keluaran tetap konstan, masukan mengecil
·      Keluaran meningkat, masukan konstan
·      Keluaran meningkat dalam kadar yang lebih tinggi dari peningkatan masukan
·      Keluaran menurun dalam kadar yang lebih rendah dari penurunan masukan
Dalam melakukan pemasaran asuransi syariah ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan penawaran kepada calon konsumen/nasabah produk asuransi syariah, produk yang ditawarkan tidak boleh terhadap pelaku usaha yang terlarang, usaha terlarang tersebut meliputi:
·      Usaha yang menggunakan sistem ribawi.
·      Usaha yang mengandung perjudian.
·      Usaha Peramalan nasib.
·      Usaha Pengangkutan Barang Haram
·      Dan lain sebagainya

B.  ETIKA DALAM ASURANSI SYARIAH
1.     Prinsip-Prinsip Bisnis Islam
Sebelum membahas etika bisnis, terlebih dahulu kita mengetahui prinsip-prinsip ekonomi/bisnis Islam yang menjadi landasan bagi segala aktivitas perekonomian (bisnis). Prinsip-prinsip Bisnis dapat diuraikan sebagai berikut:[5]
a.    Prinsip Kesatuan atauTauhid (Unity)
Prinsip tauhid adalah dasar utama dari setiap bentuk bangunan yang ada dalam syariah Islam. Dari konsep ini, maka Islam menawarkan keterpaduan, agama ekonomi, dan sosial demi membentuk kesatuan. Atas dasar ini pandangan ini pula maka etika bisnis menjadi terpadu, vertikal maupun horizontal, membetuk persamaan yang sangat pentinga dalam sistem Islam yang homogen yangtidak mengnal kekusutan dan keterputusan. Tauhid mengantarkan manusia pada pengakuan akan keesaan Allah selaku Tuhan semesta alam. Dalam kandungannya meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini bersumber dan berakhir kepada-Nya. Dialah pemilik mutlak dan absolut atas semua yang diciptakannya. Oleh sebab itu segala aktifitas khususnya dalam muamalah dan bisnis manusia hendaklah mengikuti aturan-aturan yang ada jangan sampai menyalahi batasan-batasan yang telah diberikan.
b.   Prinsip Kebolehan (Ibahah)
Pada dasarnya Islam memberi kesempatan seluas-luasnya bagi perkembangan bentuk kegiatan mu’amalah sesuai perkembangan kebutuhan manusia yang dinamis. Segala bentuk kegiatan muamalah adalah dibolehkan kecuali ada ketentuan lain yang menentukan sebaliknya.
Berkaitan dengan prinsip ini Hamyah Ya’qub, memberi garis besar larangan dalam perdagangan Islam menjadi tiga kategori;
·      Melingkupi barang atau zat yang terlarang untuk diperdagangkan.
·      Melingkupi semua usaha atau objek dagang yang terlarang.
·      Melimgkupi cara-cara dagang atau jual beli yang terlarang.

Penerapan prinsip kebolehan (bahah) sangat berkaitan dengan sesuatu yang menjadi objek dalam bisnis, yang jelas hala dan tidak mengandung keraguan sedikit pun.

c.    Prinsip Keadilan
Keadilan merupakan prinsip dasar dan utama yang harus ditegakkan dalam seluruh aspek kehidupan termasuk kehidupan berekonomi. Islam melarang adanya transaksi yang mengandung unsur gahara yang berakibat keuntungan di satu pihak dan kesewanang-wenangan serta penindasan (dhulm) di pihak lain.
Keadilan sebagai fondasi perekonomian, dalam Al-Qur’an banyak menyebutkan kata keadilan itu dengan berbagai konteks. Keadilan yang ditunjukkan hukum Islam adalah keadilan yang mutlak dan sempurna bukan keadilan yang relative dan parsial seperti yang ada dalam sistem hukum Yunani, Romawi maupun hukum manusia lainnya. Keadilan merupakan nilai dasar, etika eksiomatik, dan prinsip bisnis yang bermuara paada satu tujuan yaitu menhindari kedzaliman dengan tidak memakan harta sesama dengan batil.
d.   Prinsip Kehendak Bebas
Kehendak bebas merupakan kontribusi Islam yang paling orisinil. Berdasarkan pada aksioma kehendak bebas ini, dalam bisnis, manusia mempunyai kebebasan untuk membuat suatu perjanjian, termasuk menepati maupun mengingkarinya. Kehendak bebas (Free Will) yakni manusia mempunyai suatu potensi dalam menentukan pilihan-pilihan yang beragam, karena kebebasan manusia tidak dibatasi. Tetapi dalam kehendak bebas yang diberikan Allah kepada manusia haruslah sejalan dengan prinsip dasar diciptakannya manusia yaitu sebagai khalifah di bumi. Sehingga kehendak bebas itu harus sejalan dengan kemaslahatan kepentingan individu telebih lagi pada kepentingan umat.
Kehendak bebas yang dibatasi oleh keadilan. Sesungguhnya, kebebasan ekonomi yang disyari’atkan Islam bukanlah kebebasan mutlak yang terlepas dari ikatan. Kebebasan itu kebebasan yang terbatas, terkendali dan terikat dengan keadilan yang diwajibkan Allah.
e.    Prinsip Pertanggungjawaban
Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal yang mustahil dilakukan oleh manusia karena tidak menuntut adanya pertanggungjawaban dan akuntabilitas. Untuk memenuhi tuntutan keadilan dan kesatuan, manusia perlu mem-pertanggungjawabkan tindakannya. Aksioma pertanggungjawaban ini secara mendasar akan mengubah perhitungan ekonomi dan bisnis, karena segala sesuatunya harus mengacu pada keadilan.
f.     Prinsip Kebenaran: Kebajikan dan Kejujuran
Kebenaran adalah nilai kebenaran yang dianjurkan dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam konteks bisnis, kebenaran dimaksudkan sebagai niat, sikap dan perilaku yang benar, yang meliputi, proses akad (transaksi), proses mencari atau memperoleh komodiatas, proses pengembangan maupun dalam proses upaya meraih atau menetapkan margin keuntungan (laba). Termasuk kebajikan dalam bisnis adalah sikap kesukarelaan dan keramahtamahan.
Dengan aksioma kebenaran ini, maka etika bisnis Islam sangat menjaga dan berlaku preventif terhadap kemungkinan adanya kerugian salah satu pihak yang melakukan transaksi, kerja sama atau perjanjian dalam bisnis. Kejujuran merupakan nilai dasar yang harus dipegang dalam kegiatan bisnis. Setiap bisnis yang didasarkan pada kejujuran akan mendapatkan kepercayaan pihak lain.
g.    Prinsip Kerelaan
Prinsip ini menjelaskan bahwa segala bentuk kegiatan ekonomi harus dilaksanakan sukarela, tanpa ada unsur paksaan antara pihak-pihak yang terlibat dengan kegiatan tersebut. Prinsip kerelaan dalam Islam merupakan dasar penerimaan dan perolehan objek transaksi yang jelas-jelas bersifat halal dan tidak bertentangan dengan ajaran agama.
h.   Prinsip Kemanfaatan
Penerapan prinsip kemanfaatan dalam kegiatan bisnis sangat berkaitan dengan objek transaksi bisnis. Objek tersebut tidak hanya berlabel halal tetapi juga memberikan manfaat bagi konsumen. Objek yang memenuhi kriteria halal apabila digunakan untuk hal-hal yang dapat menimbulkan kerusakan, maka hal ini pun dilarang.
i.      Prinsip Haramnya Riba
Prinsip ini merupakan implementasi dari prinsip keadilan. Adanya pelarangan riba dalam aktivitas ekonomi karena terdapatnya unsur dhulm di antara para pihak yang melakukan kegiatan tersebut. Yang salah satunya ada pihak yang didzalimi. Prinsip pelarangan riba diterapkan karena menimbulkan dampak berupa penganiayaan terhadap salah satu pihak oleh pihak lain. Permasalah riba tidak saja berdampak pada persoalan ekonomi, tetapi menyangkut moral.
2.    Etika Bisnis Dalam Islam
Ada beberapa parameter kunci sistem etika bisnis Islam, di antaranya sebagai berikut:
a.    Berbagai tindakan dan keputusan disebut etis tergantung pada niat individu yang melakukannya.
b.    Niat baik yang diikuti tindakan yang baik akan dihitung sebagai ibadah.
c.    Islam memberikan kebebasan kepada individu untuk percaya dan bertindak berdasarkan apa pun keinginannya, namun tidak dalam hal tanggung jawab dan keadilan.
d.   Percaya kepada Allah SWT memberi individu kebebasana sepenuhnya dari hal apa pun kecuali Allah.
e.    Keputusan yang menguntungkan kelompok meyoritas ataupun minoritas tidak secara langsung berarti bersifat etis dalam dirinya.
f.     Islam menggunakan pendekatan terbuka terhadap etika, bukan sebagai sitem yang tertutup.
g.    Keputusan etis harus didasarkan pada pembacaan secara bersama-sama antara Al-Qur’an dan alam semesta.
h.    Islam mendorong umat manusia untuk melakukan tazkiyyah melalui partisipasi aktif dalam kehidupan ini.[6]
Sitematika etika Islam tidak terfragmentasi berbagai unsur namun juga tidak berdimensi tunggal. Sistem etika Islam merupakan bagian dari pandangan hidup Islami dan karenanya bersifat lengkap. Terdapat konsistensi intenal, atau ‘adl, atau keseimbangan, dalam konsep nilai penuntun individu.
3.    Nilai Penting Etika Bisnis Islam
Munculnya wacana pemikiran etika bisnis, didorong oleh realitas bisnis yang mengabaikan nilai-nilai moralitas. Pemikiran etika Islam muncul ke permukaan dengan landasan bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Ia merupakan kumpulan aturan-aturan, ajaran, doktrin, dan nilai-nilai yang dapat menghantarkan manusia dalam kehidupannya menuju kehidupan, baik dunia maupun akhirat. Pengembangan etika bisnis Islam yang mengedepankan etika bisnis Islam yang mengedepankan etika sebagaia landasan filosofisnya merupakan agenda yang signifikan untuk dikembangkan.
Menurut Quraish Shihab, al-Qur’an lebih banyak memberikan prinsip-prinsip mengenai bisnis yang bertumpu pada kerangka penanganan bisnis sebagai perilaku ekonomi dengan tanpa membedakan kelas.[7]
Pada konteks pertama, tugas utama etika bisnis dipusatkan pada upaya mencari cara untuk menyelaraskan kepentingan strategis suatu bisnis atau perusahaan dengan tuntutan moralitas. Kedua, etika bisnis bertugas melakukan perubahan kesaaran masyarakat tentang bisnis dengan memberikan suatu pemahaman, bahwa bisnis tidak terpisah dari etika.[8]
Perbedaan etika bisnis syariah dengan etika bisnis yang selama ini dipahami dalam kajian ekonomi terletak pada landasan tauhid dan orientasi jangka panjang (akhirat). Prinsip ini dipastikan lebih mengikat dan tegas sanksinya. Etika bisnis syariah memiliki dua cakupan. Pertama, cakupan internal, yang berarti perusahaan memiliki manajemen internal yang memperhatikan aspek kesejahteraan karyawan, perlakuan yang manusiawi dan tidak diskriminatif plus pendidikan. Sedangkan kedua, cakupan eksternal meliputi aspek trasparansi, akuntabilitas, kejujuran dan tanggung jawab. Demikian pula kesediaan perusahaan untuk memperhatikan aspek lingkungan dan masyarakat sebagai stake holder perusahaan.
Abdullah Hanafi dan Hamid Salam, Guru Besar Business Administration di Mankata State Univeristy menambahkan cakupan berupa nilai ketulusan, keikhlasan berusaha, persaudaraan dan keadilan. Sifatnya juga universal dan bisa dipraktekkan siapa saja. Etika bisnis syariah bisa diwujudkan dalam bentuk ketulusan perusahaan dengan orientasi yang tidak hanya pada keuntungan perusahaan namun juga bermanfaat bagi masyarakat dalam arti sebenarnya. Pendekatan win-win solution menjadi prioritas. Semua pihak diuntungkan sehingga tidak ada praktek “culas” seperti menipu masyarakat atau petugas pajak dengan laporan keuangan yang rangkap dan lain-lain. Bisnis juga merupakan wujud memperkuat persaudaraan manusia dan bukan mencari musuh. Bisnis yang dijalankan dengan melanggar prinsip-prinsip etika dan syariah seperti pemborosan, manipulasi, ketidakjujuran, monopoli, kolusi dan nepotisme cenderung tidak produktif dan menimbulkan inefisiensi.
Bisnis itu dalam Islam merupakan kegiatan berdagang. Kegiatan Bisnis Syariah dalam Islam sangat berbeda dengan kegiatan ekonomi sekuler (kapitalis) yang beranggapan bahwa dalam setiap urusan bisnis tidak dikenal adanya etika sebagai kerangka acuan, sehingga dalam pandangan kaum kapitalis bahwa kegiatan bisnis amoral. Prinsip ini menunjukkan bahwa setiap kegiatan Bisnis Syariah tidak ada hubungannya dengan moral apa pun, bahkan agama sekalipun. Menurut ekonomi kapitalis setiap kegiatan ekonomi didasarkan pada perolehan kesejahteraan materi sebagai tujuan utama. Dalam Bisnis Syariah manusia memiliki peranan yang sangat penting sebagai pelaku bisnis.
4.      Etika bisnis Dalam Asuransi
Islam merupakan sumber nilai dan etika dalam segala aspek kehidupan manusia secara menyeluruh, termasuk wacana bisnis. Islam memiliki wawasan yang komprehensif tentang etika bisnis. Mulai dari prinsip dasar, pokok-pokok kerusakan dalam perdagangan, faktor-faktor produksi, tenaga kerja, modal organisasi, distribusi kekayaan, masalah upah, barang dan jasa, kualifikasi dalam bisnis, sampai kepada etika sosio ekonomi menyangkut hak milik dan hubungan sosial.
Asuransi merupakan salah satu bagian dari bisnis. Menurut pendapat mayoritas/jumhur ulama, asuransi bukan bisnis pertaruhan dan ketidakpastian, melainkan salah satu cara untuk mempersiapkan masa depan, sebagaimana yang telah diperintahkan Allah dalam QS 59 : 18.

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Kemudian, asuransi ini juga dapat menjadi sarana untuk mempersiapkan generasi penerus yang lebih baik, dan bukan generasi penerus yang lemah dan tidak berdaya. Sehingga, keikutsertaan kita pada asuransi pendidikan anak sebagai contoh, merupakan salah satu cara untuk menjamin keberlangsungan pendidikan generasi yang akan datang. Selanjutnya, jenis transaksi yang dikembangkan asuransi syariah pun memiliki filosofi yang berbeda dengan asuransi konvensional.
Pada konsep konvensional, premi yang dibayarkan kepada perusahaan, menjadi milik perusahaan, sehingga perusahaan tersebut bebas menginvestasikan dana premi dimana saja, tanpa mempedulikan halal dan haramnya. Sementara pada akad syariah, ada dua transaksi yang dikembangkan, yaitu tabarru’ (kebajikan) dan tijarah/bisnis melalui akad mudharabah (bagi hasil). Pada akad tabarru’, para pemegang polis saling menghibahkan dananya untuk kepentingan bersama. Dana inilah yang nantinya diberikan kepada pemegang polis ketika “terjadi sesuatu” pada mereka. Filosofi yang dibangun disini adalah rasa kepedulian dan semangat tolong menolong, sebagaimana yang dinyatakan dalam QS 5 : 2. 
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
Sehingga, semangat persaudaraan sebagai satu tubuh yang kokoh akan terlihat disini, dimana apabila satu bagian sakit, yang lain pun akan turut merasakannya. Selanjutnya pada akad mudharabah, hubungan antara pemegang polis dengan perusahaan adalah hubungan antara investor (rabbul maal, yaitu peserta asuransi) dengan pengelola dana (mudharib, yaitu perusahaan). Perusahaan berkewajiban untuk menginvestasikan dana pemegang polis pada sektor-sektor usaha yang halal dan thayyib. Setiap keuntungan yang diperoleh kemudian dibagikan berdasarkan nisbah bagi hasil yang telah disepakati.
Dengan konsep seperti ini, maka tidak perlu ada keraguan lagi tentang kehalalan produk asuransi syariah. Apalagi, Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI telah mengeluarkan Fatwa No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, sebagai landasan syar’i dibolehkannya praktek asuransi syariah di tanah air.
Manfaat Pedoman Etika Bisnis dalam Asuransi syariah akan memberikan pengaruh jangka bagi pihak-pihak berikut : 
a.    Karyawan
·      Menyediakan pedoman tingkah laku yang diinginkan dan tidak diinginkan oleh Perusahaan Asuransi kepada Karyawan. 
·      Menciptakan lingkungan kerja yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, etika, dan keterbukaan sehingga mampu meningkatkan kinerja dan produktivitas karyawan secara menyeluruh. 

b.    Perusahaan 
Mendorong kegiatan operasional Perusahaan agar lebih efisien dan efektif, mengingat hubungan dengan nasabah, masyarakat, pemerintah dan stakeholders lainnya memiliki standar etika yang harus diperhatikan. 
Meningkatkan nilai perusahaan dengan memberikan kepastian dan perlindungan kepada stakeholders dalam berhubungan dengan perusahaan. Hal ini akan menghasilkan reputasi yang baik dan pada akhirnya akan mewujudkan keberhasilan usaha dalam jangka panjang. 
c.    Pemegang Saham 
Menambah keyakinan bahwa dalam mencapai tingkat protabilitas yang diharapkan para pemegang saham, perusahaan asuransi dikelola secara hati-hati (prudent), efisien, transparan, akuntabel, dan fair dengan tetap memperhatikan kepentingan perusahaan. 

d.   Masyarakat dan pihak lain yang terkait
Menciptakan hubungan yang harmonis dan saling menguntungkan dengan perusahaan, yang pada akhirnya akan menciptakan kesejahteraan sosial dan ekonomi bagi masyarakat dan pihak lain yang terkait.
C.  TEKNIK MEMASARKAN PROGRAM ASURANSI[9]
Suatu kenyataan bahwa menawarkan program suransi jauh lebih rumit dibandingkan menawarkan barang yang berbentuk atau berwujud. Karena produk asuransi bersifat tidak nyata sehingga dalam proses memasarkannya pun, ..............


Untuk Mendapatkan makalah full version dalam format microsoft word silahkan download di sini download













[1] . Nur Ahmad Fadhil dan Azhari Akmal, Etika Bisnis Dalam Islam, (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2001), hal. 25.
[2]Nur Ahmad Fadhil dan Azhari Akmal, Etika Bisnis Dalam Islam, hal 25-26.
[3]. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hal. 651.
[4]. Fatwa DSN-MUI No. 21 Tentang Pedoman Asuransi Syariah
[5]. Kuat Ismanto, Asuransi syari’ah, Tinjauan Asas-asas Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 154-165.
[6]. Kuat Ismanto, Asuransi syari’ah, Tinjauan Asas-asas Hukum Islam, hal 169 - 170
[7]. Ibid, hal. 174
[8]. Ibid, hal.175
[9]. Khairil Anwar, Asuransi Syariah, Halal Dan Maslahat,(Solo, Tiga Serangkai,2007), Hal. 104 – 112.


EmoticonEmoticon

google4d1ad84db60295b5.html