MAKALAH TAFSIR TENTANG AYAT-AYAT KEADILAN DAN KEJUJURAN


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an merupakan kitab selengkap-lengkapnya. Ia mengandung semua aspek kehidupan baik tentang dunia ataupun akhirat. Dari satu ayat Al-Qur’an dapat ditarik beberapa hal bahkan antara seseorang dengan orang yang lain berbeda pendapat dalam menafsirkan dan menyimpulkan maksud yang terkandung dalam ayat tesebut. Perbedaan pendapat dalam menafsirkan dan menyimpulkan ayat sudah menjadi tradisi dan merupakan Rahmat bagi umat manusia. Dalam Al-Qur’an tedapat ayat-ayat yang menjelaskan tentang keadilan, keujuran, dan moral. Sebagaimana kejujuran, keadilan, dan moral sudah tertanam dalam kehidupan bermasyarakat. Sikap tersebut merupakan tatanan kehidupan masyarakat dini hari.
Allah menciptakan manusia dalm berbagai sifat dan pribadi. Antara satu orang dengan yang lain tentu saja tidak sama. Keadilan dapat dimaknai sebagai perbuatan yang sesuai dengan norma-norma atau aturan-aturan yang berlaku. Atau dapat dikatakan juga menetapkan sesuatu pada proporsinya. Orang yang berakal hendaknya bertutur dengan perkataan yng jujur, bermanfaat, dan meneduhkan suasana. Allah swt memerintahkan orang-orang yang beriman untuk selalu berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran itu membawa keselamatan. Kejujuran bisa berupa perkataan, bisa juga perbuatan. Jujur dalam berkata artinya tidak berdusta., dan jujur dalam perbuatan artinya tidak curang. Dalam kehidupan bermasyarakat semestinya dilandasi dengan moral yang baik, karena moral tersebut mencerminkan sifat seseorang. Moral dapat dipahami sebagai istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktivitas manusia dengan nilai ketentuan baik atau buruk, benar atau salah. Berikut dalam makalah ini akan membahas tentang tafsir ayat-ayat yang berkenaan tentang keadilan, kejujuran, dan moral.
B.  Rumusan Masalah
  1. Bagaimana tafsir surah An-Nisa ayat 58-59?
  2. Bagaimana tafsir surah Al-Ma’arij ayat 32-33?
  3. Bagaimana tafsir surah Al-Hujurat ayat 11-12?

C.    Tujuan Penulisan Makalah
1.   Untuk mengetahui tafsir surah An-Nisa ayat 58-59
2.   Untuk mengetahui tafsir surah Al-Ma’arij ayat 32-33
3.   Untuk mengetahui tafsir surah Al-Hujurat ayat 11-


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Penafsiran QS. An-Nisa’ : 58-59
Ø    Ayat 58
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/
58. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.
         Amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain untuk dipelihara dan dikembalikan bila tiba saatnya atau bila diminta oleh pemiliknya. Amanah adalah lawan dari khianat. Ia tidak diberikan kecuali kepada orang-orang yang dinilai oleh pemberinya dapat memelihara dengan baik apa yang diberikannya itu.[1]
         Kata amanat dalam ayat ini menjangkau amanat yang dipesankan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya, seperti kewajiban shalat, zakat, puasa, pembayaran kaffarat, penunaian kewajiban shalat, zakat, puasa, pembayaran kaffarat, penunaian nadzar dan lain-lain amanat yang hanya diketahui oleh Allah dan hamba yang bersangkutan, dan amanat yang diterima oleh seseorang dari sesamanya seperti titipan-titipan yang disertai dengan atau tanpa bukti. Semuanya itu diperintahkan oleh Allah agar ditunaikannya. Karena jika tidak akan diambilnya dari padanya di hari Qiamat.
            Banyak di antara para mufassirin yang meriwayatkan bhwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan kunci Ka’bah yang diterima oleh Rasululla saw. dari juru kuncinya Utsman bin Abi Thalhah yang sudah turun-temurun memegang jabatan itu sejak zaman Jahiliyyah, kemudian dikembalikannya kepadanya sebagai amanat yang patut disampaikan kepada yang berhak menerimanya. Cerita lengkapnya mengenai serah terima kunci Ka’bah ini adalah menurut riwayat Muhammad bin Ishak dari Shafiyah binti Syaibah adalah sebagai berikut:
         Sesudah Mekkah ditaklukkan oleh pasukan Rasulullah saw. dan orang-orang sudah kembali tenang dan tentram, keluarlah Beliau menuju Baitullah, berthawaf tujuh kali putaran seraya berada di atas punggung kendaraanya, sambil menyentuhkan tongkatnya pada dinding Ka’bah. Kemudian setelah selesai berthawaf dipanggilnyalah Utsman bin Thalhah, lalu diambilnya kunci Ka’bah dari tangannya dan masuklah Beliau ke dalam. Beberapa berhala dan barang-barang yang berbentuk pujuaan, di antaranya sebuah patung merpati dari kayu, yang ditemuinya oleh Rasullah di dalam Ka’bah segera dihancurkannya oleh Beliau dengan tangannya sendiri dan dilemparkannya keluar. Kemudian berdirinlah Rasulluah saw. di ambang pintu Ka’bah, sedang orang-orang sudah datang berkerumun menunggu apa yang akan diucapkan oleh Beliau.
         Setelah selesai berkhutbah dan duduk kembali dalam masjid, datanglah Ali bin Abi Thalib memohon dari Beliau agar menyerahkan kunci Ka’bah yang sudah berada di tangan beliau itu kepadanya, agar supaya dengan demikian dia (Ali bin Abi Thalib) mendapat kemulian menghimpun dua jabatan di tangannya, yaitu jabatan juru kunci Ka’bah dan pelayan minum jemaah haji.
Tanpa menghiraukan permohonan Ali bin Abi Thalib, Rasulullah bahkan bertanya. ‘’Di manakah Utsman bin Thalhah?’’ kemudian kepadanyalah diserahkan kunci itu seraya berkata:
وَبِرٍّ وَفَاءٍ يَوْمُ اليَوْمَ يَاعُثْمَانُ. حَكَ مِفْتَا  هَاكَ
Artinya: Inilah kuncimu, hai Utsman, hari ini adalah hari kebaktian dan penunaian amanat, dan dibacalah ayat 58 tersebut diatas.
         Diriwayatkan bahwa Ustman Ibnu Khattab tatkala mendengar Rasulullah membaca ayat ini sekeluarnya dari Ka’bah, berkata ia, ‘’Ayah-bundaku penebus dari Beliau, sungguh belum pernah aku mendengarnya membaca ayat ini sebelumnya’’.[2]
         Agama mengajarkan bahwa amanah/kepercayaan adalah asas keimanan berdasarkan sabda Nabi saw., ‘’Tidak ada iman bagi yang tidak memiliki amanah.’’ Selanjutnya, amanah yang merupakan lawan dari khianat adalah sendi utama interaksi. Amanah tersebut membutuhkan kepercayaan dan kepercayaan itu melahirkan ketenangan batin yang selanjutnya melahirkan keyakinan.  
         Diatas, terbaca bahwa ayat ini menggunakan bentuk jamak dari kata amanah. Hal ini karena amanah bukan sekedar sesuatu yang bersifat material, tetapi juga non-material dan bermacam-macam. Semuanya diperintahkan Allah agar ditunaikan. Ada amanah antara manusia dengan Allah, antara manusia dengan manusia lainnya, antara manusia dengan lingkungannya, dan antara manusia dengan dirinya sendiri. Masing-masing memiliki rincian, dan setiap rincian harus dipenuhi, walaupun seandainya amanah yang banyak itu hanya milik seseorang.
         Selain kewajiban menunaikan amanat, Allah swt. dalam ayat ini memerintahkan hendaklah orang yang menjadi hakim menghukum dengan adil dan mengeluarkan hukuman yang sama rata di antara sesame manusia. Ketika memerintahkan menunaikan amanah, ditekankannya bahwa amanah tersebut harus ditunaikan kepada ahliha yakni pemiliknya, dan ketika memerintahkan menetapkan hukum dengan adil, dinyatakannya apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia. Ini berart bahwa perintah berlaku adil itu ditujukan terhadp manusia secara keseluruhan.
          Dengan demikian, baik amanah maupun keadilan harus ditunaikan dan ditegakkan tanpa membedakan agama, keturunan atau ras. Ayat-ayat al-Quran yang menekankan hal ini sungguh banyak. Salah satu di antaranya berupa teguran kepada Nabi saw. yang hampir saja terperdaya oleh dalih seorang muslim yang munafik, yang bermaksud mempermasalahkan seorang Yahudi. Dalam konteks inilah turun firman-Nya: ‘’Dan janganlah engkau menjadi penentang orang-orang yang tidak bersalah, karena (membela) orang-orang yang khianat’’ (QS. An-Nisa[4]: 105). Nabi saw. pun seringkali mengingatkan hal ini, misalnya dengan sabda beliau, ‘’Berhati-hatilah! Doa orag yang teraniaya diterima Allah, walaupun dia durhaka, (karena) kedurhakaannya dipertanggungjawabkan oleh dirinya sendiri’’ (HR.Ahmad dan al-Bazzar melalui Abu Hurairah)
         Kemudian Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu dengan perintah-Nya agar kamu menunaikan amanat dan melaksanakan hukum yang adil diantara sesame manusia, perintahkan-perintahkannya yang lain dan syari’at-syari’at-Nya yang sempurna dan luas jangkauannya. Dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar kata-katamu  serta mengetahui segala perbuatan dan kelakuanmu.

Ø Ayat 59
ÇÎÑÈ   $pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibnu Abbas yang bercerita bahwa ayat ini turun sehubungan dengan peristiwa pengutusan Rasulullah saw. kepada Abdullah bin Hudzafah mengeplai suatu dataseman untuk menghadang kaum musyrikin. Sedang menurut ceritanya Ali sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad ialah, bahwa Rasulullah saw. telah mengirim suatu detasemen untuk penghadangan, sebagai kepalanya telah ditunjuk seorang dari sahabat Anshar. Di tengah perjalanan terjadilah hal-hal yang menimbulkan amarahnya sang kepala. Maka dikumpulkanlah para anggota detasemen itu dan ditanya. ‘’Tidaklah Rasulullah saw. telah memerintahmu taat kepada ku?’’. ‘’benar,’’ jawab mereka.
         Jika demikian, kata sang kepala, kumpulkanlah kayu bakar untukku. Kemudian dibakarlah kayu yang sudah terkumpul sehingga menjadi api yang cukup besar, lalu berkata kepada anggota detasemennya, ‘’ Aku perintahkan kamu terjun ke dalam api ini.’’ Seseorang anggota remeja berkata kepala kawan-kawannya menanggapi perintah sang kepala, ‘’Kamu telah lari kepada Rasulullah untuk menghindari api (neraka), maka janganlah tergaa-gesa melakukan perintah itu sebelum menemui Rasulullah saw. dan bila Beliau menyuruhmu terjun ke dalam api itu, maka laksanakanlah.’’

UNTUK MENDAPATKAN MAKALAH LENGKAP SILAHKAN DOWNLOAD DISINI




[1] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, cet.ViI, 2006), hlm. 479
[2] Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Taisiru al-Aliyyu Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, jilid 2, ( Surabaya: PT Bina Ilmu, cet.II, 2005), hlm. 451


EmoticonEmoticon

google4d1ad84db60295b5.html