MAKALAH TAFSIR TENTANG KAIDAH YANG HARUS DIKETAHUI OLEH SEORANG MUFASSIR

KAEDAH-KAEDAH YANG MESTI DIKETAHUI SEORANG MUFASSIR AL-QUR’AN

Merupakan suatu keharusan bagi seseorang yang ingin mempelajari suatu ilmu adalah mengetahui dan memahami pondasi atau pokok ilmu tersebut secara global, dan mengetahui keistimewaannya secara khusus. Hal ini bertujuan supaya seorang penuntut ilmu mempunyai gambaran yang jelas dengan ilmu yang akan dipelajarinya. Begitu juga bagi seorang mufassir yang akan mendalami tentang AL-Qur’an. AL-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab, oleh karenanya sangat mustahil jika seorang mufassir ingin menafsirkan atau mendalami AL-Qur’an tanpa megetahui bahasa Arab secara mendalam, sebagaimana firman Allah SWT:
 yang artinya:
           sesungguhnya kami menurunkannya  berupa AL-Qur’an dengan bahasa Arab, agar kamu memahaminya (QS. Yusuf: 5)
            Maka, diantara kaedah-kaedah yang dibutuhkan oleh seorang mufassir dalam menafsirkan AL-Qur’an adalah memahami kaidah bahasa Arab dan pokok-pokoknya, mendalami gaya bahasa dan rahasia-rahasianya, dan kaidah-kaidah lainnya. Akan tetapi disini  Akan dibahas beberapa kaidah pokok yang paling penting, yaitu :
            1 dhamir.
            2 nakirah dan ma’rifah
            3 mufrad dan jama’
            4 mutaradifat.
            5 soal dan jawab.
            6 faedah khitab dengan jumlah ismiyah dan jumlah fi’liyah.
            7 faedah ‘ataf
            8 beda antara lafadh ita’ dan I’tha, beda antara lafadh kana, kada, ja’ala,     ‘asa, dan la’alla


1.      Dhamir (kata ganti)
            Pada dasarnya dhamir diletakkan untuk mempersingkat perkataan, ia berfungsi untuk menyebutkan kata-kata yang banyak dan menempati kata-kata itu secara sempurna tanpa mengubah makna yang dimaksud dan tanpa pengulangan.
Ibnu Malik dalam kitab At-Tashil menyatakan Penjelas dhamir ghoib itu adalah lafadz yang terdekat denganya kecuali bila ada dalil yang munujukan lain. Terkadang tempat kembali (marja’) dhamir itu dijelaskan lafadznya dan terkadang tidak dijelaskan karena ada indicator baik yang indrawi maupun yang diketahui melaluui penalaran, atau dengan menyebut bagian marja’, keseluruhannya, imbangnya atau yang menyertainya, dalam bentuk apapun.
Dengan demikian marja’ dhamir ghaib adalah
a.       Marja’ dhamir adalah lafadzh yang telah disebutkan sebelumnya dan harus sesuai dengannya .
                                ( يكون ملفوظا به سابقا عليه مطابقا له)
Contoh : ونادى نوح ابنه ( هود 42)

b.      Marja’ dhamir adalah lafadz yang mendahuluinya itu mengandung apa yang dimaksud oleh dhamir.
(يكون ما سبق متضمنا له)
          Contoh :  (ولا يجرمنكم شنآن قوم على ألا تعدلوا اعدلوا هو أقرب للتقوى(المائدة : 8
Dhamir هو kembali kepada makna lafadz yang terkandung pada اعدلوا yaitu العدل

c.       Marja’ dhamir adalah lafadz yang mendahuluinya itu mununjuk kepada dhamir berdasar keniscayaan.
(يكون المرجع دالا عليه بالتزام)
Contoh : فمن عفي له من أخيه شيئ فاتباع بالمعروف و أداء إليه بإحسان ( البقرة : 178)
Dhamir pada kata إليه kembali pada lafadz العافي (orang yang memaafkan) yang harus ada sebagai perwujudan dari adanya lafadz عفي (dimaafkan)
d.      Marja’ dhamir terletak sesudah lafadz dhamir itu sendiri, namun hanya dalam pengucapan saja.
(يكون المرجع متأخرا لفظا لا رتبة )
Contoh : فأوجس في نفسه خيفة موسى ( طه : 67)
5.  
e.       Marja’ dhamir terletak sesudah lafadz dhamir itu sendiri dalam pengucapan dan kedudukan.
(يكون المرجع متأخرا لفظا و رتبة )

ISIM MA’RIFAH DAN NAKIROH

A.    Nakiroh
Penggunan isim nakiroh mempunyai beberapa fungsi di ataranya :
1.      Untuk menunjukan satu (إرادة الوحدة)
Contoh : وَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ اَقْصَى المَدِينَةِ يَسْعَى  ( يس : 20 )
Rojulun maksudnya adalah seorang laki-laki
2.      Untuk menunjukan jenis(إرادة النوع).
Contoh : وَلَتَجِدَنَّهُمْ أَحْرَصَ النَّاسِ عَلَى حَيَاةٍ – البقرة :96)
Yakni satu macam kehidupan dengan bekerja keras menuntut tambahan masa depan, sebab keinginan itu bukan terhadap masa lalu atau masa sekarang.
3.      Untuk menunjukan Satu dan Jenis sekaligus.
Contoh : (النور 45) وَاللَّهُ خَلَقَ كُلَّ دَابَّةٍ مِنْ مَاءٍ
Maksudnya setiap jenis binatang itu berasal dari satu jenis air dan setiap individu(satu) binatang itu berasal dari satu  nutfah( air mani)
4.      Untuk membesarkan dan memuliakan (للتعظيم)
Contoh :( البقرة : 279) فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ
Yaitu perang yang besar
5.      Untuk menunjukan arti banyak dan melimpah (للتكثير)
Contoh: فَلَمَّا جَاءَ السَّحَرَةُ قَالُوا لِفِرْعَوْنَ أَئِنَّ لَنَا لَأَجْرًا إِنْ كُنَّا نَحْنُ الْغَالِبِين(الشعراء : 41)
Kata  أَجْرًا Maksudnya adalah Pahala yang banyak dan melimpah
6.      Untuk meremehkan dan merendahkan (للتحقير)
Contoh :) مِنْ أَيِّ شَيْئٍ خَلَقَهُ ( عبس : 18
Kata شَيْئٍ Menunjukan makna sesuatu yang hina.
7.      Untuk menyatakan sedikit (للتقليل )
Contoh :
وَعَدَ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللَّهِ أَكْبَرُ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ( التوبة : 72)
            Kata رِضْوَانٌ menujukan arti keridoan yang sedikit yang sedikit dari Allah itu lebih besar nilainya dari pada surga

B.     Ma’rifat

Isim ma’rifah mempunyi beberapa fungsi sesuai dengan jenis dan macamnya.
         Isim Ma’rifah bisa dengan dhomir maupun dengan isim alam
         Dengan isim alam(nama) berfungsi untuk menghadirkan pemilik nama dalam benak pendengar dengan cara menyebutkan namanya yang khas yaitu:
a.       Untuk menghormati dan memulyakan
Contoh            : Surat al Fath مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُم
b.      Untuk menghinakan / merendahkan
Contoh : Surat (Al Lahab ) تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبّ
         Dengan menggunkan isim isyaroh (kata tunjuk)
a.              Untuk menjelaskan bahwa sesuatu itu dekat
Surat luqman 11 : هَذَا خَلْقُ اللَّهِ فَأَرُونِي مَاذَا خَلَقَ الَّذِينَ مِنْ دُونِهِ بَلِ الظَّالِمُونَ فِي ضَلَالٍ مُبِي
b.              Menunjukan keadaan jauh     Surat al baqarah 5 :   أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ



Mufrod dan jamak

1.                  الأرض , النورالصراط , ( selalu dalam bentuk jamak)
2.                  ألبابأكواب , ظلمات (selalu dalam bentuk jamak)
3.                  Kata السماء dalam bentuk mufrod menunjukan arti arah atas contoh أأمنتم من في السماء أن يخسف بكم الأرض أي من فوقكم,  وفي السماء رزقكم  . sedangkan dalam bentuk jama’ السموات menunjukan bilangan dan luasnya keagungan (contohسبح لله ما في السماوات )
4.                  Kata الريح dalam bentuk mufrod dalam kontek adzab
Contoh : مَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ أَعْمَالُهُمْ كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ فِي يَوْمٍ عَاصِفٍ
Dalam bentuk (الرِّيَاحِ  ) jamak digunakan dalam kontek rahmah
Contoh: وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
5.                  النور dalam bentuk mufrod dan ظلمات dalam bentuk jamak menunjukan arti bahwa nur kebenaran hanya satu,dan kesesatan banyak. Begitu pula سبيل الحق dan سبل الباطل menunjukan jalan kebenaran hanya satu dan jalan kesesatan sangat banyak.
6.                  Kata yang tersebut dalam bentuk mufrod, mustana, dan jamak. Yaitu ; المشرق والمغرب   

A.    Mutaradifat
Kata-kata yang Dikira Mutaradif (sinonim), tetapi Bukan
Diantaranya adalah “al khauf” dan “al khasyyah”. Makna “al khasyyah” berarti lebih tinggi dari “al khauf”, karena al khasyyah terambil dari kata-kata ‘syajarah khasyyah’ artinya pohon yang kering. Jadi arti al khasyyah ialah totalitas rasa takut. Sedangkan “al khauf” terambil dari kata-kata ‘naqah khaufa’ , artinya unta betina yang berpenyakit, yakni mengandung kekurangan, bukan berarti sirna sama sekali.
Disamping itu “al khasyah” adalah rasa takut yang timbul karena agungnya pihak yang ditakuti. Dengan demikian, ‘al khasyyah’ adalah al kauf atau rasa takut yang disertai rasa hormat (ta’zim); sedang al khauf adalah rasa takut yang timbul karena lemahnya pihak yang merasa takut kendatipun pihak yang ditakuti itu hal yang kecil. Dilihat dari akar katanya , al khasyyah terdiri dari kha’, syin dan ya’ yang didalam tasyrifnya menunjukkan sifat keagungan dan kebesaran, seperti ‘asy syaikh’ berarti pemimpin besar. Oleh karena itu, kata “al khasyyah” sering digunakan berkenaan dengan hak Allah, seperti dalam surah (Fatir: 28). Adapun ‘al khauf’ dalam ayat surah (an Nahl: 50) digunakan untuk mensifati para malaikat sesudah menyebutkan kekuatan dan kehebatan mereka. Maka pemakaian kata alkhauf disini untuk menjelaskan bahwa sekalipun para malaikat itu besar-besar dan kuat tetapi dihadapan Allah mereka lemah. Ungkapan itu kemudian disambung dengan “fauqahum” yang berarti Allah itu diatas mereka. Hal ini menunjukkan akan kebesaranNya. Dengan demikan terkumpullah dua unsur makna yang terkandung oleh “al khasyyah” tanpa merusak arti kehebatan para malaikat yaitu “khauf” dan penghormatan mereka kepada Tuhan.
Diantaranya pula ialah “as sabil” dan “at tariq”. Yang pertama banyak dipakai dalam kebaikan sedang yang kedua hampir tidak pernah dipakai pada kebaikan kecuali bila disertai sifat atau idafah yang menunjukkan makna dimaksud. Misalnya dalam surah (al Ahqaf : 30). Menurut ar Raghib dalam mufradatnya, “as sabil” adalah “at tariq” atau jalan yang didalamnya terdapat kemudahan. Jadi lebih khusus dari “at tariq”.
Demiakian pula “madda” dan “a madda” ar Ragib dalam menjelaskan , kata “imdad”-bentuk masdar dari amadda- banyak dipakai pada hal-hal yang disenangi, seperti pada ayat : ‘wa amdadna humbifakihatin’ (at Tur: 22), sedang ‘madda’ dipergunakan pada sesuatu yang tidak disenangi, misalnya pada ; ‘wanamuddulahu minal ‘adzabi madda’ (Maryam;79).

B.     Pertanyaan dan Jawaban
Pada dsasarnya jawaban itu harus sesuai dengan pertanyaan. Namun ia terkadang menyimpang dari apa yang dikehendaki pertanyaan. Hal ini untuk mengingatkan bahwa jawaban itulah yang seharusnya ditanyakan. Jawaban seperti ini disebut ‘uslub al hakim’. Sebagai contoh firman Allah ; (al Baqarah: 189). Mereka menanyakan kepada Rasulullah SAW tentang bulan, mengapa pada mulanya ia tampak kecil seperti benang, kemudian bertambah sedikit demi sedikit hingga purnama, kemudian menyusut lagi terus-menerus sampai kembali seperti semula. Jawaban yang diberikan kepada mereka berupa penjelasan mengenai hikmahnya, untuk mengingatkan mereka bahwa yang lebih penting ditanyakan ialah hal tersebut, bukan apa yang mereka tanyakan itu. Terkadang sebuah jawaban lebih umum dari apa yang ditanyakan, kerana memang hal itu dianggap perlu, misalnya pada surah (al An’am ayat 64) sebagai jawaban bagi pertanyaan surah (al An’am ayat 63). Terkadang pula lebih sempit dari pertanyaan karena keadaan menghendaki demikian, seperti ayat dalam surah ( Yunus ayat ;15) sebagai jawaban bagi “I’ti biqurani ghairi hadza aw baddilhu’. Hal ini mengingatkan bahwa mengganti lebih mudah dari pada menciptakan. Jika mengganti saja tidak mempu tentulah menciptakan lebih tidak mampu lagi.
Kata “su’al” bila dipakai untuk meminta sesuatu pengertian, maka terkadang ber muta’addi kepada maf’ul kedua secara langsung, dan terkadang dengan menggunakan kata bantu ” ‘an” . misalnya ” wayas alunaka ‘anir ruhi” (al Baqarah: 85) . dan bila dipergunakan untuk meminta sesuatu benda atau yang serupa ,ia muta’addi kepada maf’ul kedua itu secara langsung atau dengan kata bantu ‘min’ , namun cara pertama lebih banyak berlaku. Misalnya “was alu ma anfaqtum” (al Mumtahanah: 10) dan “wasalullaha min fadlihi” (an Nisa’ : 32).

C.    Jumlah Ismiyah dan Jumlah Fi’liyah

Jumlah ismiyah atau kalimat nominal menunjukkan arti subut (tetap) dan istimrar ( terus-menerus), sedang jumlah fi’liyah atau kalimat verbal menunjukkan arti tajaddud (timbulnya sesuatu) dan hudus (temporal). Masing-masing kalimat ini mempunyai tempat tersendiri yang tidak bisa ditempati oleh yang lain. Misalnya tentang infaq yang diungkapkan dengan kalimat verbal. Seperti dalam ayat “alladzina yunfiquna fissarai wadhdharai” (Ali Imran: 134).
Disini tidak digunakan kalimat nominal. Namun dalam masalah keimanan digunakanlah kalimat nominal, seperti dalam surah (al Hujurat: 15). Hal ini karena infaq merupakan suatu perbuatan yang bersifat temporal yang terkadang ada dan terkadang tidak ada. Lain halnya dengan keimanan. Ia mempunyai hakikat yang tetap berlangsung selama hal-hal yang menghendakinya masih ada.
Yang dimaksud tajaddud dalam fi’il madi (kata kerja masa lampau) ialah perbuatan itu timbul tenggelam. Terkadang ada dan terkadang tidak ada. Sedang dalam fi’il mudari’ (kata kerja masa kini atau masa akan datang), perbuatan itu terjadi berulang-ulang. Fi’il atau kata kerja yang tidak dinyatakan secara jelas dalam hal ini sama halnya dengan fi’il yang dinyatakan secara jelas. Karena itu para ulama berpendapat, salam yang disampaikan oleh Ibrahim a.s lebih berbobot (ablag) dari pada yang disampaikan para malaikat kepada Ibrahim, seperti yang tersurat dalam surah ( az Zariyat : 25). Kata ‘salaman’ dinasabkan karena ia masdar yang menggantikan fi’il. Asalnya “tusallimu ‘alaika salaman” . ungkapan ini menunjukkan bahwa pemberian salam dari mereka baru terjadi saat itu. Berbeda dengan jawabannya, “qala salamun ‘alaikum”. Lafaz ‘salamun’ dirafa’kan karena menjadi mubtada’ (subyek) yang khabar (predikat) nya tidak disebutkan. Kalimat itu lengkapn ya ialah “‘alaikum salamun” yang menunjukkan tetapnya salam. Disini nampaknya Ibrahim bermaksud membalas salam mereka dengan cara yang lebih baik dari yang mereka sampaikan kepadanya. Demi melaksanakan etika yang diajarkan Allah swt . Disaping juga merupakan penghormatan Ibrahim kepada mereka.

D.    ‘Athaf
‘Athaf terbagi atas tiga macam:
1.      ‘Athaf kepada lafaz, dan inilah yang pokok bagi ‘athaf.
2.      ‘Athaf kepada mahall (kedudukan kata). Misalnya dalam kedudukan ayat

(al-maidah:67)  ان الذين امنوا والذين هادوا والصابئون

Lafaz “as-sabiuun” di’athafkan kepada mahall inna dan isimnya yang kedudukannya  adalah marfu’ karena permulaan kalimat.

3.      ‘Athaf kepada makna. Misalnya dalam ayat
            (al-munafiqun:63)        لولا أخرتنى إلى أجل قريب فأصدق وأكن                                                                             
Dalam qiraah selain abu ‘amr lafaz “akun” dijazmkan. Menurut alkhalil  dan sibawaih lafaz tersebut di’athafkan kepada suatu yang dianggap ada karena makna “lau laa akhkhartani…. Fa  assaddaqa” sama dengan “akhhirnii…   assaddaq”  (tangguhkanlah aku…, tentu aku akan bersedekah) seakan-akan dikatakan “ in akhhartani…    assaddaqa wa akun”. Demikian pula al-farisi menyatakan sebagai qiraah qubul:  (yusuf:90)   إنه من يتق ويصبر   dengan membaca sukun “ra” sebab “man” mausul mngandung makna syarat.
Para ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya meng’athafkan khabar (kalimat berita) kepada insya (bukan kalimat berita). Sebagian besar tidak membolehan dan sebagian membolehkannya, dengan mengambil contoh ayat  تؤمنون yang terdapat dalam ayat
 يا أيها الين  أمنوا هل أدلكم على تجارة تنجيكم من عذاب أليم. تؤمنون باالله ورسوله (as-saaff (10-11).
Golongan yang tidak membolehkan mengatakan mengatakan lafaz “tu’minuuna” sama maknanya dengan “aminu”. Dengan demikian,  ia adalah kalimat yang bermakna insya’. Maka sah-lah meng’athafkan kalimat insya’, “wabasysyir” kepadanya, seakan-akan dikatakan
امنوا وجاهدوا يثبتكم الله وينصركم. و بشر يا رسول الله المؤمنين بذالك.
Faedah penggunaan kalimat kabar di tempat kalimat perintah ( amr, insya’) ini untuk memberi pengertian tentang kewajiban mentaati perintah itu, seakan-akan kalimat tersebut berbentuk perintah, yakni “taatilah”. Karena itu ia memberitahukan tentang keimanan dan jihad yang sudah ada.
Para ulama berbeda pendapat pula tentang meng’atafkan kepada dua ma’mul dari dua ‘amil. Golongan yang membolehkan berdalil dengan firman Allah:

إن في السموات والارض لايات للمؤمنين, وفي خلقكم وما يبث من دابة ايات لقوم يوقنون. واختلاف اليل والنهار وما أنزل الله من السماء من رزق فأحيا به الأرض بعد موتها وتصريف الرياح ايات لقوم يعقلون          (al-jasyiah:2-5)

lafaz    ايات لقوم يعقلون….. واختلاف اليل والنهار di’athafkan kepada dua ma’mul dari dua ‘amil, baik ketika dinasabkan maupun ketika dirafa’kan. Ketika dinasabkan kedua ‘amil itu “inna” dan “fi” yang kedua-duanya digantikan oleh “waw”. Jadi, “waw” ini menjarrkan lafaz اختلاف اليل والنهار dan menasabkan “ayat”. Dan ketika ketika dirafa’kan kedua ‘amil itu adalah ibtida’ dan fi. Maka waw dalam hal ini merafa’kan lafaz “ayat” dan menjarrkan “ikhtilaf”. Pendapat ini dikemukakan oleh zamakhsyari.
Demikian pula mereka berbeda pendapat tentang meng’atafkan kepada dhamir yang majrur tanpa mengulangi huruf jar. Golongan yang membolehkan mengajukan argumentasi dengan qiraah hamzah:
واتق الله الذين تساءلون به ولأرحام  ( an-nisa:1) yang menjarrkan lafaz “al-arham” karena di’athafkan kepada dhamir. Mereka juga berhujjah dengan firman-Nya:
وصد عن سبيل الله و كفر به والمسجد الحرام  (al-baqarah: 217) di mana lafaz “al-masjid” majrur karena di’athafkan kepada dhamir pada lafaz “bihi”

E.     Perbedaan antara al-ita’ dengan al-I’tha’ ( الإيتاء و الإعطاء)
Terdapat perbedaan antara “al-ita’” dengan “al-I’tha’” di dalam al-quran. Al-juwaini menjelaskan lafaz “al-ita’” lebih kuat dari “al-i’tha’” dalam menetapkan maf’ulnya, karena “al-I’tha’” mempunyai pola kata mutawa’alah. Dikatakan أعطاني فعتوت  ( ia memberikan [sesuatu] kepadaku maka aku pun menerimanya). Sedang tentang “al-ita’” tidak dapat dikatakan أتاني فأخذت (ia memberikan [sesuatu] kepadaku maka akupun memberikannya). Tetapi hendaklah dikatakan:   أتاني فأخذت (ia memberikan [sesuatu] kepadaku maka akupun menerimanya)
Fi’il kata kerja yang mempunyai pola mutawa’ah lebih lemah pengaruh maknanya terhadap maf’ul (obyek) dari pada fi’il yang idak mempunyainya. Dalam hal yang pertama dapat dikatakan  قطعته فانقطع (aku memotongnya maka iapun terpotong). Di sini Nampak jelas bahwa perbuatan pelaku, berhasil tidaknya, bergantung pada keadaan obyeknya terpengaruh atau tidak. Jika tidak terpengaruh maka ia tidak ada. Oleh karena itu maka sah dikatakan قطعته فما انقطع (aku memotongnya tetapi ia tidak terpotong). Sedangkan dalam fi’il yang tidak mempunyai pola mutawa’ah tidak sah kita menyatakan demikian. Karena itu tidak boleh dikatakan   ضربته فانضرب أو ما انضرب (aku pukul dia maka ia pun terpukul atau tidak terpukul), sebab fi’il atau perbuatan seperti ini bila telah dilakukan pelaku maka pasti ada pengaruh konkrit terhadap obyeknya, mengingat bahwa perbuatan pelaku dalam hal fi’il yang tak mempunyai pola mutawa’ah ini tidak bergantung pada keadaan obyeknya. Dengan demikian maka “al-itha’” lebih kuat (intens) dari al-I’tha’”
Mengenai hal tersebut terdapat contoh di dalam al-quran:
يؤتي الحكمة من يشاء. ومن يؤتى الحكمة فقد أوتي خيرا كثيرا  (al-baqarah:269)

Penggunaan kata “al-ita’” (yu’ti, yu’ta, utiya) dalam ayat ini mengingat bahwa bila hikmah telah tetap pada tempatnya, maka ia akan menetap di situ selamanya. Contoh lain:
 
حتى يعطوا الجزية عن يد و هم صاغرون (at-taubah:29) penggunaan “yu’thu” di sini karena jizyah itu bergantung kepada kita (kaum muslimin) menerima atau tidak, orang non muslim pun tidak membayarkan nya dengan hati rela melainkan karena terpaksa. Dalam kaitannya dengan kaum muslimin tentang zakat digunakanlah kata “al-ita’”. Ini mengandung isyarat bahwa seorang mukmin seharusnya membayar zakat itu dengan kesadaran sendiri secara ikhlas, tidak seperti pembayaran jizyah.

F.     Lafaz Kana
Seringkali lafaz kana dalam Qur’an digunakan berkenaan dengan dzat Allah dan sifat-sifatNya. Para ahli nahwu dan yang lain berbeda pendapat tentang lafaz tersebut, apakah ia menunjukkan arti inqita’ (terputus) sebagai berikut:
Pertama, “kana” menunjukkan arti “inqita’” sebab ia adalah fi’il atau kata kerja yang memberika arti tajaddud, temporal.
Kedua, “kana” tidak menunjukkan arti inqita’ melainkan arti dawam (kekal, abadi). Ini pendapat yang dipilih Ibn Mu’ti yang mengatakan dalam al fiyahnya : “wakana lil madhil ladzi man qatha’a ( “kana” menunjukkan peristiwa masa lampau yang tidak terputus)
Mengenai firman Allah : ‘wakanasy syaithanu lirabbihi kafuran (al Isra’: 270 ar Ragib menyatakan, lafaz “kana” disni menunjukkan bahwa setan sejak diciptakan senantiasa tetap berada dalam kekafiran.
Ketiga ‘kana” adalah suatu kata yang menunjukkan adanya sesuatu pada masa lampau secara samar-samar, yang didalamnya tidak ada petunjuk mengenai ketiadaan yang mendahuluinya atau keterputusannya yang datang kemudian. Misalnay firman Allah ” wakanallahu gafurar rahiman” (al Ahzab: 50). Pendapat ini dikemukakan oleh az Zamakhsyari ketika menafsirkan firmanNya : ‘kuntum khaira ummatin ukhrijat linnasi” (Ali Imran : 110) dalam al Kasysyaf.
Ibn ‘Atiyah menyebutkan dalam tafsir surah Fatihah, apa bila “kana” digunakan berkenaan dengan sifatsifat Allah, maka ia tidak mengandung unsur waktu.
Diantara pendapat-pendapat tersebut, yang benar adalah pendapat Zamakhsyari. Yaitu bahwa ‘kana’ menunjukkan arti betapa eratnya hubungan makna kalimat yang mengikutinya dengan masa lampau, bukan arti yang lain, dan lafaz ‘kana’ sendiri tidak menunjukkan terputus atau kekalnya makna tersebut. Dan jika menunjukkan makna demikian maka hal itu disebabkan ada ‘dalil’ lain. Dengan makna inilah semua firman Allah yang menggunakan lafaz ‘kana’ dalam Qur’an baik tentang sifat-sifatNya atau lainnya, harus diartikan, misalnya :
و كان الله سميعا عليما (an Nisa’: 148)
و كان الله وا- (an Nisa’: 130)

Apa bila firman Allah berbicara tentang sifat-sifat manusia dengan lafaz ‘kana’, maka yang dimaksud adalah menerangkan bahwa sifat-sifat tersebut bagi mereka sudah merupakan garizah (naluri) dan tabiat yang tertanam dalam jiwa. Misalnya firman Allah (al Isra’: 11)  وكان الإنسان عجولاdan firman Nya                                  (al Ahzab: 72) إنه كان ظلوما جهولا
Abu Bakar ar Razi telah mengkaji dengan seksama penggunaan ‘kana’ dalam qur’an yang menyimpulkan makna-makna yang terkandung dalam penggunaannya itu. Ia menjelaskan didalam Qur’an terdapat lima macam ‘kana’
1.      Dengan makna azali dan abadi, misalnya firman Allah “wakanallahu ‘aliman hakiman” (an Nisa’; 170)                                                                
2.      Dengan makna terputus (terhenti) misalnya firman Allah (an Naml: 48). Inilah makna yang asli diantara makna-makna ‘kana’ , hal itu sebagaimana perkataan “kana zaidun shalihan aw faqiran aw maridhan aw nahwahu” ( adalah si Zaid itu seorang saleh, seorang fakir, seorang yang sakit, atau lainnya).                                     
3.      Dengan makna masa sekarang, seperti dalam ayat : “kuntum khaira ummatin” (Ali Imran: 110) dan “innash shalata kanat ‘alal mu’minina kitaban mauqutan” (an Nisa’: 103)
4.      dengan makna masa akan datang, seperti dalam ayat “wayakhafuna yauman kana syarruhu mustathiran” (ad Dhar: 7)
5.      dengan makna sara (menjadi), seperti dalam ayat “wakana minal kafirin” (al Baqarah: 34).
‘kana ‘ jika terdapat dalam kalimat negatif, maka maksudnya adalah untuk membantah atau menafikkan kebenaran berita, bukan menafikkan terjadinya berita itu sendiri. Oleh karenanya ia ditafsirkan dengan “ma sahha wamas taqam” ( tidak sah dan tidak benar), seperti dalam :
-surah (al Anfal : 67) 
ما كان لنبي أن يكون له أسرى حتى يثخن فالأرض
-surah (at Taubah : 17)
ما كان للمشركين أن يعمروا مساجد الله

G.    Lafaz Kada
Para ulama mempunyai beberapa pendapat tentang lafaz ‘kada’ :
 
1.      ‘Kada’ sama dengan fi’il lainnya baik dalam hal nafi’ (negatif, meniadakan) maupun dalam hal isbat (positif , menetapkan). Positifnya ialah positif dan negatifnya ialah negatif, sebab maknanya ialah muqarabah (hampir, nyaris). Jadi makna kalimat ‘kada yaf’alu’ adalah qarabal fi’la ( ia menghampiri pekerjaan itu, hampir mengerjakan) dan makna kalimat ” ma kada yaf ‘alu” adalah “lam yuqa ribhu” ( ia tidak menghampiri pekerjaan itu, hampir tidak mengerjakannya). Predikat (khabar) “kada” selalu negatif, tetapi dalam kalimat positif kenegatifannya itu dipahami dari makna “kada” itu sendiri. Sebab berita tentang “hampirnya sesuatu” menurut kebiasannya, berarti sesuatu tersebut tidak terjadi. Jika tidak demiakian tentu tidak akan diberitakan “kehampirannya”. Apa bila “kada” itu dinegatifkan maka ketidak hampiran berbuat menghendaki, secara akal, bahwa perbuatan itu tidak terjadi. Hal sebagaimana ditunjukkan oleh ayat “ldza akhraja yadahu lam yakad yaraha” (An Nur: 40). Karena itu ayat ini lebih intens dari kalimat “lam yaraha” (ia tidak melihatny), sebab orang yang tidak melihat mungkin ia telah hampir melihatnya.
2.      “Kada” berbeda dengan fi’il-fi’il lainnya baik dalam hal positif maupun negatif. Positifnya adalah negatif, dan negatifnya adalah positif. Atas dasar ini mereka berkata “kada” jika dipositifkan maka sebenarnya menunjukkan negatif, dan jika dinegatifkan maka sebenarnya menunjukkan positif. Jika dikatakan ” kada yaf’alu” maka artinya ‘ia tidak melakukan’ berdasarkan firman Allah “wa inkadu layaftinunaka” (dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu��al Isra : 73, sebab pada kenyataannya mereka tidak memalingkan Muhammad. Dan jika dikatakan “lam yakad yaf’al” maka artinya “ia melakukan”, berdasarkan ayat : ‘fadza bakhuha wama kadu yaf’alun’ (kemudian mereka
menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melakukannya. Al Baqarah : 71

3.       “Kada” yang dinegatifkan kadang menunjukkan terjadinya sesuatu dengan susah payah dan sulit, seperti dalam surah al Baqarah : 71 diatas.

4.      dibedakan antara yang berbentuk mudari’, “yakadu” dengan yang berbentuk madi, “kada” menegatifkan bentuk mudari’ menunjukkan arti negatif, nemun menegatifkan yang berbentuk madi menunjukkan arti positif. Yang pertama dapat dilihat dalam ayat “lam yakad yaraha” mengingat ia tidak melihatnya sedikitpun. Sedang yang kedua didasarkan pada ayat : fadzabakhuha wama kadu yaf’alun” . hal ini karena mereka melakukan penyembelihan tersebut.
5.      Kada yang dinegatifkan adalah untuk menunjukkan arti positif jika lafaz yang sesudahnya berhubungan dan berkaitan dengan lafaz yang sebelumnya. Misalnya perkataan                                   ما كدت أصل إلى مكة حتى طفت بالبيت (hampir aku tidak sampai di makkah sampai aku tawaf di baitul haram). Termasuk di antaranya adalah al-baqarah :71 di atas

H.    Lafaz ja’ala
“ja’ala” digunakan dalam quran untuk beberapa makna:
1.      Dengan makna samma (menamakan), seperti dalam ayat: allaziina ja’alu lquran ‘idhina (al-hijr:91) maksudnya mereka menamakan quran sebagai suatu kedustaan.
2.      Dengan makna aujada (menjadikan, mewujudkan) yang mempunyai satu objek. Perbedaan dengan khalaqa ialah bahwa khalaqa bermakna menciptakan yang mengandung arti takdir (penentuan) serta tanpa ada contoh sebelumnya dan tidak didahului oleh materi atau sebab indrawi. Berbeda dengan ja’ala. Allah berfirman                                  الحمد لله الذي خلق السموات والأرض و جعل الظلمات و النور  (al-an’am: 1) penggunaan kata ja’ala di sini karena zhulumat dan annur ada karena adanya benda-benda. Dan tidak ada karena benda-benda tersebut juga.
3.      Dengan makna perpindahan dari satu keadaan ke keadaan lain dan makna tasyir (menjadikan), karenanya ia mempunyai dua maf’ul. Perpindahan itu ada yang bersifat indrawi, seperti dalam ayat allazi ja’ala lakumul ardha firasya (al-baqarah:22) dan ada juga yang bersifat ‘aqli aja’alal alihata ilahan wahidan (sad:5)
4.      Dengan makna I’tiqad (keyakinan) seperti pada ayat: wa ja’alu lillahi syurakaa aljinn. (al-an’am:100)
5.      Dengan makna menetapkan sesuatu atas sesuatu yang lain, baik benar maupun batil.

I.       Lafaz la’alla dan ‘asa
la’alla dan ‘asa digunakan untuk makna ar-raja’ (harapan) tama’ (keinginan) dalam perkataan sesame manusia jika mereka meragukan beberapa hal yang mungkin tetapi tidak dapat memastikan mana yang terjadi di antaranya. Dan jika dihubungkan atau digunakan dalam firman Allah, maka dalam hal ini ada beberapa pendapat:

1.      Menunjukkan sesuatu hal yang sudah dan pasti terjadi, sebab penisbatan segala sesuatu kepada Allah adalah penisbahan yang mengandung kepastian dan keyakinan.
2.      Menunjikkan makna harapan sebagaimana arti aslinya, tetapi hal ini jika dilihat dari sudut “mukhathab”\

3.      Di banyak tempat kedua lafaz itu menunjukkan ta’lil (alas an), seperti dalam ayat ‘asa an yab’atsa ka rabbuka maqamam mahmuda (as-isra’:79) dan fattaqullaha ya ulil albabi la’allakum tuflihun (al-maidah:100)

1 komentar:

Bagus memuaskan bnget terima kasih


EmoticonEmoticon

google4d1ad84db60295b5.html